Jumat, 07 Januari 2011

Ada Negeri Gila Bola Tetapi Tidak Ada Lapangan Bola

Seperti menjadi kebiasaan penulis sebelum melakukan penulisan selalu menghaturkan permintaan maaf jika ada kata-kata atau tulisan yang penulis buat membuat sebagaian pembaca merasa tersinggung atau penulis dianggap menista atau apalah, apa yang penulis tulis adalah murni dari pendapat penulis terkait masalah yang penulis lihat, baca dan dengar, sekali lagi maaf.

Ada sebuah ungkapan daripada seorang Kuntowijoyo yang membuat penulis agak angkat dahi yaitu “ Muslim tanpa Masjid” tetapi ungkapan itu ada kaitan dengan kondisi sepak bola di negara kita, di penghujung tahun 2010 kemarin hampir seluruh rakyat Indonesia mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, para gadis, tua-muda selalu membicarakan soal keberhasilan timnas Indonesia walaupun akhirnya kalah-kalah juga. Negeri ini selama sebulan kemarin telah menjadi semacam sorga yang berwarna merah (walaupun banyak orang dan buku mengatakan bahwa sorga itu adalah putih ) dengan kaos atau atribut yang berwarna merah putih atau merah strip hijau seperti hiasan pohon natal.

Tapi bagi penulis turnament sepak bola se-ASEAN itu tidak jauh berbeda alunan musik yang di mainkan disk jockey-DJ hanya di depan saja hingar bingar setelah itu selesai atau kasarnya itu semua MIMPI ! negara kita tidak pernah sadar dari bangun serta tidak pernah dewasa dalam mengurusi yang namanya sepak bola, kalau kita bicara sepak bola maka komponen yang paling dan wajib ada dalam urutan teratas adalah LAPANGAN !! benar tidak ?! tetapi fakta di lapangan apakah ada ?

Republik Indonesia akhir tahun 2010 dan awal 2011 sangat berbeda dengan Republik Indonesia ketika jaman pemerintahan Ir. Soekarno hingga awal Soeharto memimpin, Indonesia ketika jaman pemerintahan Ir. Soekarno hingga awal Soeharto bisa mengatasi bahkan MENGAJARKAN bagaimana cara mengolah kulit bundar yang baik dan benar tersebut kepada tim Uruguay, Australia bahkan Jepang dan Korea Selatan karena saat itu lapangan bola ada di mana-mana, setiap ujung gang pasti ada lapangan sepakbola, bahkan penulis sering mendengarkan cerita orang tua bagaimana anak muda ketika itu banyak menghabiskan waktu sore dan luangnya dengan bermain bola. Setiap pukul 16.00 adalah waktu wajib untuk bermain sepakbola dan akan selalu ada suara riuh rendah dan teriakan daripada anak-anak ketika bermain bola hingga waktu Maghrib memanggil.

Itu kondisi Indonesia ketika tahun 1950-an hingga 1980-an lantas bagaimana dengan kondisi anak muda dan sepak bola di tahun 2011 ? ternyata sangat jauh berbeda walaupun sama, maksudnya ? memang masih tetap ada suara riuh rendah dan teriakan tetapi bukan dari lapangan sepakbola tetapi dari sebuah ruangan dimana ada dua anak sedang memegang semacam balok dari bahan plastik yang mana di dalamnya itu ada tombol-tombol yang diarahkan melalui kabel beraliran listrik ke monitor televisi atau PC dari monitor televisi atau PC ini menampilkan gambar animasi tiga dimensi sosok pemain bola, memang aneh permainan tetapi itulah permainan mereka di kala senggang atau sore hari. Kalau tidak itu mereka akan berkumpul di sebuah bangunan yang berhawa sejuk sambil melihat-lihat sebuah kaca yang dalamnya berisikan barang-barang entah itu tas, baju, buku bahkan manusia pun ada.

Pertanyaan kita sekarang, apakah kita harus menyalahkan anak-anak kecil ini ketika waktu luangnya harus bermain dengan monitor televisi atau PC bukan berada di luar rumah seperti kebiasaan orang tuanya dahulu ketika muda bermain sepak bola di lapangan ? anak-anak itu tidak salah YANG SALAH ADALAH KITA-KITA ini terutama para manusia-manusia yang memiliki banyak uang dan di otaknya selalu berorientasi keuntungan yang hanya untuk dia dan keluarnya. Kita bisa lihat Stadion Menteng yang ada di kawasan H.O.S Cokroaminoto dimana dahulu banyak sekali kegiatan dan turnament sepakbola untuk membina bibit pemain usia dini yang nantinya sekitar 10-20 mendatang akan seperti Bambang Pamungkas tetapi nyatanya ? stadion itu kini di sulap menjadi taman dan sebuah kantor militer, atau dulu banyak lapangan bola sekarang berubah menjadi apartement, mall, hotel atau komplek perumahan yang menggunakan nama asing padahal pemiliknya peranakan tapi SOK bilang warga pribumi.

Seperti kata musisi kawakan Iwan fals dalam sebuah lirik lagunya dimana sepakbola di awal-awal tahun 2000 hingga saat ini sama berharganya dengan sebongkah berlian yang belum di asah asal afrika, dimana kalau mau main bola (baca: futsal) harus jadi member selama setahun, kalau mau main sepakbola harus masuk sekolah sepak bola dan harus juga mengikuti serangkaian test yang tentunya juga memasukkan nominal Rupiah, padahal yang namanya bakat itu dari alam dan juga anak-anak yang berbakat ini rata-rata berlatar belakang ekonomi yang pas-pas-an bahkan ada yang tidak sekolah karena tidak sanggup membayar uang sekolah dan pembangunan.

Seperti contoh pemain sayap timnas kita, Octo kalau itu terasah dengan benar mungkin sekarang dia berdampingan dengan Messi atau CR-7 dalam bermain sepakbola tetapi nyatanya apa, kita bisa lihat kondisi ekonomi dari Octo ini yang mungkin juga mewakili ratusan-ratusan Octo-Octo kecil yang sebenarnya bakatnya bagus dan di atas rata-rata tetapi harus mengalah dengan yang namanya kondisi ekonomi !

JANGAN BICARA Ganyang Harimau Malaya, atau JANGAN BICARA tuan rumah Piala Dunia 2026 atau JANGAN BICARA emas SEA GAMES, JANGAN BICARA Juara Piala AFF 2012 atau JANGAN BICARA Timnas bisa kalahkan Jepang dengan skor telak kalau sampai saat ini saja di sekitar rumah kita TIDAK ADA LAPANGAN BOLA !! Coba kita lihat di Jakarta, ada berapa banyak lapangan bola (lapangan sebenarnya BUKAN tanah kosong yang sebagian saja berumput dengan masing-masing ujung di beri 2 tongkat bambu) ? pasti hitungan jari bukan ?

Penulis juga ragu dengan kebijakan daripada Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia berupa pembangunan 1000 lapangan sepakbola di seluruh Indonesia karena sampai sekarang kebijakan itu belum ada dalam bentuk nyata seperti peletakan batu pertama pembangunan 1000 lapangan sepakbola itu, seharusnya kalau mau Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia beserta Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk Surat Keputusan Bersama, seperti SKB 3 Menteri tentang tempat ibadah, dimana setiap provinsi atau mulai dari unit pemerintahan terkecil di negara ini yaitu Dusun atau RT sampai Ibukota Provinsi di seluruh Indonesia HARUS dan WAJIB menyediakan lahan kosong untuk lapangan bola seseuai dengan ketentuan yang ada seperti sistem drainase dan perawatan rumput serta pembinaan kompetisi usia dini. Dalam hal keuangan kiranya negara ini bisa menggunakan pos dana misalnya dari pajak, karena selama ini penulis tidak pernah melihat realisasi daripada hasil pajak, KALAU MEMANG pajak ini untuk pembangunan negara seharusnya TIDAK ADA LAGI sekolah-sekolah yang LEBIH HINA daripada kandang babi yang ada di pedalaman benar tidak ? atau TIDAK ADA LAGI penumpang berdesak-desakan kayak pepes di dalam busway atau shelter busway, benar tidak ?

Kalau ini di jalankan dengan konstisten dan bukan (maaf) HANGAT-HANGAT TAHI KERBAU seperti tabiat daripada negara ini, BOLEH LAH kita berucap dengan lantang, GANYANG HARIMAU MALAYA atau Piala Dunia 2022 KAMI AKAN JUARA, tetapi sebelum itu terrealisasi kan dengan sempurna dan nyata di depan mata maka negara dan sepakbola kita ini masih akan terus lebih hina dari apa seekor keledai KECUALI Republik Indonesia adalah negeri pesulap yang rakyatnya seperti kisah Harry Potter dimana mampu menjadikan negeri ini juara bola tanpa harus ada lapangan bola !!!

Salam Revolusi dan Pengusiran serta Pencabutan Hak-hak sebagai WNI daripada NH, NB, ADT, NDB !!

Taman Suropati, 030111 16:30
Rhesza
Pendapat Pribadi

Tidak ada komentar: