Rabu, 09 Juni 2010

Sudah Bebaskah Jurnalis Menjalankan Tugasnya ?

Seperti menjadi kebiasaan penulis sebelum menuliskan apa yang menjadi pendapat penulis ijinkan penulis menghaturkan permintaan maaf kepada para pembaca jika dalam penulisan penulis membuat pembaca dan pengunjung marah, tersinggung atau apalah apa yang penulis tulis ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak ada maksud untuk memojokkan atau mencemarkan nama baik atau organisasi lewat tulisan, sekali lagi mohon maaf.

Beberapa bulan belakangan ini hampir semua media baik cetak maupun elektronik memuat berita tentang adanya beberapa jurnalis yang mengalami kesulitan bahkan penganiayaan ketika sedang menjalankan tugasnya sebagai jurnalis.

Kita bisa lihat bagaimana ada seorang (mungkin) pengusaha yang menggugat sejumlah media cetak ibukota karena memuat berita (menurut versi pengusaha ini) bohong soal kasus penggrebekkan judi di salah satu kamar hotel ternama di kawasan Sudirman-Senayan, walau akhirnya empat media dinyatakan di bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Selatan karena tidak sesuai dengan dakwaan, dan saat ini pun juga kalangan media cetak menanti putusan yang akan di keluarkan oleh PN Jakarta Barat apakah sama atau tidak dengan PN Jakarta Timur dan Selatan.
Ada lagi kasus penganiayaan seorang wartawan televisi di pelataran kantor pemerintahaan di Jakarta, tanpa alasan yang tidak jela sang jurnalis di pukul oleh satuan keamanan kantor pemerintahan tersebut, kemudian di Maluku ada Jurnalis dari sebuah biro stasiun televisi mengalami pemukulan dari aparat salah satu pengadilan di Ambon ketika akan meliput dan mempertanyakan kenapa salah satu acara persidangan tidak boleh terbuka untuk umum.

Pertanyaannya sekarang dari semua rangkaian peristiwa ini adalah, sehina inikah hidup sebagai Jurnalis harus di pukuli, di adili dan sebagainya ? bukan maksud membela kaum Jurnalis tetapi penulis melihat ada yang salah dan tidak mengertinya masyarakat terkait kehadiran para Jurnalis ini.

Memang diakui atau tidak peran Jurnalis ini ibarat dua sisi mata uang dimana satu sisi mereka memberikan informasi yang di butuhkan oleh masyarakat terkait suatu peristiwa tetapi di satu sisi lain ada saja jurnalis-jurnalis ini merasa terkotak-kotakkan dengan aturan-aturan yang ada misalnya aturan dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Penulis melihat seperti dua sisi mata uang itu, satu sisi memang kita lihat banyak media berbondong-bondong memberikan berita yang akurat kepada para pemirsanya dengan berbagai gaya ada yang siaran langsung dari TKP atau ada yang langsung dari dua tempat yang berbeda tetapi isinya berkaitan dan masih banyak lagi dan semakin akurat semakin banyak pemirsa yang menikmati, tetapi satu sisi kebebasan Jurnalis itu menyiapkan materi harus terhalang dengan aturan-aturan mereka seperti aturan atau kebijakan perusahaan misalnya seperti kasus lumpur ada dua media yang menyebutkan lumpur Sidoarjo tetapi semua tipi menyebutkan lumpur Lapindo melihat dari perusahaan yang menyebabkan peristiwa ini terjadi.

Sebenarnya kita sebagai orang awam harus berterima kasih kepada para jurnalis karena tanpa jurnalis kita bisa apa, kita tidak tahu kejadian apa yang terjadi di belahan dunia sana kalau tidak ada sosok Jurnalis, kita juga tidak akan bisa memperkenalkan kepada dunia suatu inovasi yang bermanfaat bagi dunia ini jika tidak ada jurnalis yang meliput benar tidak ?

Tetapi memang diakui ada beberapa media yang menurut penulis tidak sesuai dengan tatanan pers seperti yang terjadi pada salah satu stasiun televisi, tidak usah menyebutkan namapun anda sudah tahu tipi apa itu, tipi ini menurut penulis agak sok melakukan liputan dan apapun secara pertama dan eksklusif tetapi di balik berita itu kadang-kadang menyalahi aturan kita bisa lihat bagaimana stasiun televisi ini selalu menyiarkan berita-berita eksklusif tetapi ujungnya berita bohong seperti kasus Ibrohim dimana mereka “bergandengan” tangan dengan pasukann 88 dalam mencari teroris dimana mereka melakukan laporan langsung dari lokasi dimana sang Jurnalis mengatakan bahwa yang sedang diburu itu adalah Noordin M Top kemudian sambil merekam dan terus merekam baku tembak itu selama 19 jam dan mendapatkan konfirmasi dari pasukan di lapangan kalau yang mati adalah Noordin M Top dan itu disampaikan lagi oleh sang Jurnalis lewat laporan telepon dan visual, kemudian untuk memastikan bahwa laporan daripada sang Jurnalis dari TKP ini presenter berita yang ada di Studio mencoba menghubungi pejabat Kepolisian apakah benar yang tertembak ini adalah Noordin M Top, entah karena sedang diluar atau tidak sang Pejabat ini mengatakan iya…iya..saja dan langsung lah berita itu tersebar dan menjadi bahan perbincangan setidaknya 48 jam ke depan.

Tetapi apa yang di sangka setelah melakukan otopsi segala, bahwa yang tewas bukan Noordin M Top bahkan sang pejabat Humas ini sempat geram dengan tindakan daripada sang televisi ini, itu belum seberapa bagaimana dengan kasus wafatnya Gesang yang diberikan secara langsung ketika akan menutup sebuah berita tetapi kenyatannya selang 30 menit dari pembicaraan itu sang Gesang ternyata masih hidup atau ketika di jaringan social tuider, salah satu penyiarnya menulis bahwa Mantan Ibu Negara telah berpulang karena karena tulisannya ini banyak yang mereply ternyata yang terjadi beda berapa jam ternyata sang mantan Ibu Negara masih hidup walaupun krisis, tapi dari cerita-cerita itu yang penulis tulis diatas ada kesamaan yaitu TIDAK ADA PERMINTAAN MAAF baik itu dari presenternya maupun Pemimpin Redaksinya HINGGA DETIK INI !!

Soal perkara yang melibatkan Jurnalis penulis sependapat dengan Dewan Pers dan KPI bahwa segala yang berkaitan dengan Pers agar diselesaikan juga dengan aturan-aturan Pers misalnya melakukan hak jawab atau melaporkan ke Dewan Pers atau melaporkan dengan menggunakan UU Pers No. 40/1999 dan juga UU Penyiaran sehingga tidak seperti sekarang Pers dan Jurnalis sama dengan koruptor dan maling ayam dalam hal menjerat perkaranya.

Dan juga kiranya pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia agar lebih banyak lagi waktu untuk mensosialisasi soal dua perangkat hukum yang berkaitan dengan media atau Pers baik cetak, elektronik dan online kepada masyarakat, karena selama ini banyak warga negara terutama kaum-kaum berdasi dan parlente ketika urusannya terutama bisnisnya dicium mencurigakan oleh jurnalis lewat pemberitaan sebagai pencemaran nama baik langsung melaporkan ke pihak-pihak terkait (baca: Polisi) dengan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik tanpa ada melaporkan atau mengkonfirmasi terlebih dahulu via telepon atau datang ke kantor media tersebut untuk menanyakan perihal berita yang ditulis jurnalis media tersebut, padahal kaum-kaum berdasi ini bisa mengkonfirmasikan ke media atau dengan menuliskan surat ke Media sebagai pertanyaan dan jawaban atas berita yang dimuat dan tentunya media pun membuka tangan dan tidak segan-segan meminta maaf jika memang jawaban dari orang tersebut berbeda dengan apa yang dituliskan oleh sang jurnalis, tetapi masalahnya tidak banyak orang yang berdasi ini melakukannya dan langsung berpikiran dengan cara mendatangi kantor media tersebut untuk mencoba berdialog dengan sang penulis berita dan juga pemimpin redaksinya.

Sudah saatnya masyarakat dan jurnalis saling tahu sama tahu akan fungsinya, kita tanpa jurnalis pun tidak akan pernah tahu peristiwa atau berita penting yang ada di dunia ini terutama program-program pemerintahan dan juga tanpa masyarakat jurnalis tidak akan bisa memberitakan apa yang mereka lihat dan rasakan atau pengumuman dari pemerintah benar tidak ?

Kebon Sirih, 090610 07:00
Rhesza
Pendapat Pribadi

Tidak ada komentar: