Rabu, 21 April 2010

TV itu merekayasa atau Polisi yang merekayasa ?


Mungkin bulan ini bulan paling berat bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana institusi baju cokelat ini sedang dilanda boleh dibilang musibah dimana ada saja masalah yang keluar dari kantor ini mulai dari (maaf) pembangkangan perwiranya mulai dari penyebutan Cicak Vs Buaya, kemudian tanpa ijin pimpinan mendatangi sidang kasus pembunuhan yang melibatkan Kepala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar hingga pembongkaran adanya makelar-makelar kasus yang akhirnya bisa memulangkan sang Gayus PNS Rp. 28M.

Kalau untuk detailnya bukan keahilan penulis sebagai pakar hukum atau pakar pajak karena lahan itu sudah ada yang punya, tetapi sebelum merangkai tulisan ini ke bawah penulis memohon maaf kepada pembaca atau pihak-pihak terkait yang merasa terpojokkan atas tulisan ini tetapi apa yang penulis lihat berdasarkan nurani, mata, hati, telinga terhadap apa yang terjadi, sekali mohon maaf.

Ketika proses per-markus-markus-an sedang berjalan, tiba-tiba institusi baju cokelat ini menangkap seorang markus yang katanya palsu, penangkapan ini berdasarkan hasil penyidikan dan rekaman yang tertayang dalam acara disebuah stasiun televisi swasta serta pernyataan langsung. Akibat penangkapan ini sang punya stasiun dan acara pun angkat bicara bahwa yang ditangkap adalah benar-benar markus bukan palsu atau gadungan.

Bukan maksud membela televisi ini atau sang institusi baju cokelat tetapi penulis melihat mungkin dengan kasus ini televisi ini agar berubah, penulis melihat sudah berapa kali melakukan kesalahan dalam hal pemberitaan yang mungkin menurut penulis yang hidup dengan dunia dan kegiatan jurnalis.

Ada banyak kesalahan dari televisi ini yaitu, apakah anda ingat ketika kasus Temanggung dimana ada satu rumah yang diberondong peluru oleh team 88, dengan percaya dirinya televisi ini menayangkan langsung dari TKP dan melaporkan bahwa yang diberondong peluru itu adalah Noordin M Top dan ditambah dengan adanya konfirmasi dan pertanyaan lewat speaker phone kepada salah satu perwira tinggi Polri dan didengarkan oleh rakyat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke dari Mianggas hingg Rote tetapi kenyataannya ! SALAH BESAR yang tewas adalah Ibrohim

Kemudian, selalu menanyangkan tayangan video-video ekslusif yang bagi mereka hanya mereka yang punya, tetapi kenyataannya ? Televisi lain pun ada yang punya bahkan lebih detail daripada ke”ekslusifan” daripada televisi, lalu ketika aksi Polri dalam memberantas Aceh daripada teroris dimana sang televisi dengan pedenya bisa masuk dan terlibat dalam barisan pagar betis polri sementara jurnalis yang lain tidak bisa padahal sebelum berangkat ke medan tempur, semua jurnalis dikumpulkan dan akan berangkat bersama tetapi kenyataannya ? hanya televisi ini yang ikut dan terus dibelakang para prajurit polisi !

Dari sekian banyak kesalahan dan arogansi televisi ini penulis berpikir dan bertanya ? INIKAH CARA KERJA JURNALIS ? dan lebih HEBATNYA lagi adalah kalau media cetak ketika menaikkan sebuah berita ADA kesalahan, ESOK harinya pasti memuat sebuah kolom khusus yang istinya permintaan maaf atau ralat akan berita yang salah, SEMENTARA televisi ini TIDAK PERNAH melakukan permintaan maaf kepada publik ketika salah satu beritanya ada yang salah, terbukti ketika kasus Temanggung itu JELAS-JELAS salah tetapi apa ? Justru Polisi yang meminta maaf dan mengklarifikasi atas berita yang beredar, sementara televisi ini yang PERTAMA memberitakan bahwa berita itu salah TIDAK PERNAH MEMINTA MAAF BAIK ITU SECARA INSTITUSI ATAUPUN SANG PEMBAWA BERITA DI LAPANGAN!!! Bahkan penulis agak tertawa lepas sampai sakit perut ketika salah berita ini di tanyakan oleh sang (kalau tidak salah) Kadiv Humas “ SIAPA YANG BILANG NOORDIN M TOP TEWAS ? “ langsung secara spontan wartawan yang ada disana menyebutkan secara koor nama stasiun televisi ini dan pertanyaan itu diulang sebanyak 3 kali oleh sang Kadiv Humas !!

Tulisan ini bukan untuk memojokkan atau mencemarkan atau apapun namanya tetapi penulis melihat ada yang salah daripada televisi ini dan terbukti kalau tidak salah ada beberapa kali KPI mengeluarkan surat teguran kepada televisi ini, dan penulis sebagai bagian dari keluarga besar jurnalis, apa yang di sajikan oleh televisi ini adalah sangat tidak “jurnalis” kita bisa lihat dari cara mencari berita misalnya kasus Temanggung akan timbul pertanyaan “ kok televisi itu BISA ADA di areal yang seharusnya steril dan hanya polisi yang ada ?” jawaban anda wahai Pemred ?

Penulis berpikir apa yang dilakukan oleh stasiun televisi ini (mungkin) hanya mengejar rating karena sangat jelas sekali perbedaannya ketika membandingkan dengan stasiun televisi yang bergenre sama yaitu Berita, kalau televisi yang saingannya penulis melihat mereka dalam menaikkan berita selalu berhati-hati dan memastikan dulu sumber-sumbernya baru menaikkannya dan kalau pun tidak lengkap televisi ini lebih kepada analisa-analisa dari pakar-pakar yang ada sementara televisi ini penulis melihat tidak ada bahkan (mungkin) semakin dalam berita dan narasumbernya semakin bagus dan bisa mengangkat share rating ! ini bisa kita lihat bagaimana berita-berita seputar teroris, adakah yang “sedikit” di sensor atau “sedikit” dihaluskan kata-kata jurnalisnya ?

Yang menjadi pertanyaan saat ini apakah media saat ini lebih mementingkan informasi yang diminta masyarakat atau sekedar mengejar share rating ? dalam hal hukum menghukm media di negara ini sangat dilema, dimana jika stasiun televisi ini dihukum maka secara tidak langsung negara menghalang-halangi kebebasan dalam mencari dan menyiarkan sebuah berita tetapi jika di berikan sanksi apakah televisi yang bermasalah itu akan berubah ?

Kita sebagai masyarakat juga seharusnya lebih jeli dan kritis dalam melihat tayangan-tayangan dalam hal kategori pemberitaan, bukan hanya sekedar melihat televisi ini hebat karena pemberitaannya langsung dari lapangan sementara televisi lain tidak, tetapi lebih berpikir dan bertanya dalam hati dengan jeli, ADA APA dibalik berita misalnya laporan dari lapangan sementara televisi lain tidak ada beritanya kalau pun ada berita atau laporan hanya berdasarkan sambungan telepone dan visualnya pun baru dikemudian hari, padahal isu itu lagi marak, seperti kasus di Aceh penulis pun berpikir kok televisi ini bisa masuk dan bersama-sama dalam kendaraan operasional polri sementara televisi lain hanya mengambil gambar dari kejauhan atau dari keterangan Humas Polri

Semoga dengan kejadian ini, para awak media lebih jeli lagi dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan informasi yang penonton atau masyarakat ingin kan tanpa harus ditambah atau di kurangi dan tentunya juga dalam menyajikan sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku.

RawaMangun, 130410 15:00

Gie Gustan
Pendapat Pribadi

Tidak ada komentar: