Tulisan ini hanya ingin menambahkan daripada tulisan dari sdr Arief yang dimuat di RKM beberapa waktu lalu soal terkait kasus tawuran ria antara tiga kampus terkenal yang berada di kawasan Salemba yang mungkin baru ini ada tiga kampus berkelahi dalam satu hari.
Sehari setelah kejadian itu, seperti negara dalam keadaan kebakaran jenggot semua lapisan mulai dari ketiga rektor kampus yang berselisih, walikota bahkan kepolisian pun mulai menyusun kata tiap kata untuk menghadapi wartawan dan draft perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak.
Kenapa harus UKI ? itulah pertanyaan yang terus membayangi semua lapisan terutama yang berkaitan dengan UKI seperti alumni atau mahasiswa UKI yang tidak tahu dan terlibat dalam peristiwa ini. RKM sependapat dengan tulisan sdr. Arief yang mengatakan bahwa apa yang telah ditulis oleh sejumlah media ketika kampus ini melakukan kegiatan yang mungkin masuk dalam kurikulum “UKM” selalu menempatkan kampus ini diawal judul apakah karena berdasarkan alfabet atau apa inilah yang menjadi tanda tanya ?
Dan terbukti, ketika RKM melihat tayangan yang disiarkan oleh tayangan kriminal di stasiun televisi yang diawaki oleh Rossi.S dimana pada saat gelar perkara atau sweeping di kedua kampus pada tengah malam dimana kalau dibandingkan atau disejajarkan soal barang bukti ternyata diam-diam kampus yang menjadi lawan UKI memiliki barang bukti atau peralatan perang yang lebih banyak dan lebih parah dari apa yang ditemukan di kampus UKI seperti ditemukan banyaknya kelereng, bom molotov, dan banyaknya batang bambu kalau sudah seperti ini kira-kira anda masih menyalahkan UKI ?
RKM juga ingin mengkritik aparat Intelkam dan para penyidik Reserse Kriminal dari Kepolisian Metropolitan Jakarta Pusat-Polres Jakarta Pusat yang dalam menyidik dan menginvestigasi hanya bermuara pada satu pihak saja yaitu UKI padahal kita semua tahu mulai dari orang waras hingga orang sakit jiwa bahwa yang sedang bermain batu dan molotov di jalan Salemba selsa (14/10) kemarin adalah Mahasiswa UKI dan YAI TETAPI KENAPA yang ditangkap adalah mahasiswa UKI sedangkan mahasiswa YAI yang jelas-jelasnya terrekam dalam kamera televisi itu melemparkan beberapa bom molotov TIDAK ditangkap !! ini jelas sekali diskriminasi dalam hukum !!
Kalau memang semboyan dari Polisi itu adalah menegakkan keadilan setidaknya mahasiswa dari YAI-pun harus dipanggil bahkan dipesankan kamar mereka di Hotel Prodeo Polres Jakpus, bukankah kabarnya yang beredar sampai ke meja RKM di areal depan Kampus YAI sudah terpampang kalau tidak salah ada 4 buah CCTV kenapa hasil dari rekaman 4 CCTV tidak digunakan sebagai bukti, apakah Polri takut karena (mungkin!) ada unsur kekeluargaan dan “86” dari kedua pihak sehingga yang menjadi korban untuk dijadikan n stigma masyarakat adalah mahasiswa UKI, betul tidak !
Kalau tidak ada masalah kesenjangan sosial dan perebutan lahan parkir secara komersil mungkin dua kampus ini tidak setiap tahun melakukan ritual seperti ini, kita tahu bagaimana kondisi fisik bangunan dari kedua kampus ini ibarat bumi dan langit sehingga timbullah kecemburuan sosial dimana kampus samping UKI padahal baru berdiri sudah bisa menjelajahi semua lapisan masyarakat dengan iklan-iklan mereka sedangkan UKI dengan keterbatasan segalanya hanya bisa seminimal mungkin, selain itu juga salah dari aparat Pemkot Jakarta Pusat.
Apa yang salah dari jajaran Pejabat Pemkot Jakarta Pusat ? jelas salah ! karena pertama, memberikan ijin mendirikan bangunan yang jelas-jelas itu tanah hibahan dari sebuah organisasi keagamaan internasional dan daerah tersebut adalah daerah cagar budaya artinya tidak boleh dirombak sampai menghilangkan aslinya, kedua, setahu RKM bahwa ada kebijakan dari jajaran Pemkot dan Pemprov terdahulu bahwa areal di sekitar Jl. Diponegoro dan sekitarnya setiap bangunan hanya boleh dibangun sampai dengan 3 lantai tidak boleh lebih (anda bisa lihat sendiri sepanjang Jl. Diponegoro. RSCM saja baru-baru ini menambah lantai) TETAPI kenapa gedung YAI bisa berdiri tegak bak twin tower WTC, sementara UKI yang penulis dengar ingin merenovasi bangunannya di TOLAK dengan alasan cagar budaya! Dari sini saja kita bisa melihat latar belakang dari kasus tawuran ini belum lagi urusan komersil seperti lahan parkir hingga penghasilan narkoba yang menurut data yang pernah RKM dapat dari sebuah informan dan juga mantan aparat Intelkam Jakpus bahwa Jl. Diponegoro dan sekitarnya termasuk didalam kampus samping UKI pernah menjadi urutan nomor wahid a.k.a. nomor satu transaksi Narkoba untuk wilayah hukum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya ( POLDA METRO JAYA) yang selama ini diduduki oleh kawasan Jl. Kyai Tapa termasuk di areal parkir sebuah kampus, dan mencapai penghasilan lebih dari Rp. 1 Juta untuk segala bentuk narkoba salahsatunya adalah ganja, kalau sudah seperti ini apakah hanya satu kampus saja yang harus terkena stigma sosial akibat masalah ini !
RKM juga tidak sependapat dengan pernyataan daripada Ibu Walikota yang mengatakan bahwa satu-satunya jalan supaya tidak menjadi agenda tahunan bagi kedua adalah kedua kampus harus dipindahkan ! yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kepada Ibu Walikota adalah apakah ini solusi terbaik, lalu bagaimana nasib dari gedung kedua kampus itu jika mereka pindah ? kemudian apakah Pemkot mau mendanai kepindahan mereka dan memberikan tempat sebagai ganti dari kampus mereka yang sekarang ! Tolonglah Ibu Walikota, anda kalau memberikan pernyataan atau sikap yang direkam oleh media dan dibaca oleh semua masyarakat dipikirkan dulu, memangnya memindahkan sebuah institusi semudah pindah rumah ! tidak segampang itu Ibu walikota lantas gedung kedua kampus itu kalau dipindahkan dibiarkan kosong begitu atau memang ini rencana dari dulu yang dilakukan oleh Pemkot Jakarta Pusat untuk memindahkan kedua kampus ini dan lahan yang selama ini ditempati oleh dua universitas itu akan dijadikan fasilitas umum seperti yang terjadi di Stadion Menteng begitu.. ? Ingat ! para pendahulu anda saja sudah membuat kesalahan bahwa jalur sebelah kiri Jl. Diponegoro adalah lokasi Cagar budaya yang mana anda tahu sendiri yang namanya Cagar Budaya ada UU-nya kalau melanggar sanksinya keras, seperti kasus Stadion Menteng sebenarnya Gubernur dan Walikota Jakarta Pusat terdahulu bisa menginap di Hotel Prodeo, tetapi ya itulah di negara ini yang namanya Keadilan bagi orang kecil dan mengerti akan budaya selalu dimarjinalkan !!
Apakah ini akan menjadi agenda rutin tahunan bagi kedua kampus dalam menjelang tahun akademik baru ? kita lihat saja nanti apakah yang namanya keadilan itu di Jl. Diponegoro dapat benar-benar sesuai dengan arti kata Keadilan itu sendiri!!
Diponegoro82 -Jakpus 201008
Sehari setelah kejadian itu, seperti negara dalam keadaan kebakaran jenggot semua lapisan mulai dari ketiga rektor kampus yang berselisih, walikota bahkan kepolisian pun mulai menyusun kata tiap kata untuk menghadapi wartawan dan draft perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak.
Kenapa harus UKI ? itulah pertanyaan yang terus membayangi semua lapisan terutama yang berkaitan dengan UKI seperti alumni atau mahasiswa UKI yang tidak tahu dan terlibat dalam peristiwa ini. RKM sependapat dengan tulisan sdr. Arief yang mengatakan bahwa apa yang telah ditulis oleh sejumlah media ketika kampus ini melakukan kegiatan yang mungkin masuk dalam kurikulum “UKM” selalu menempatkan kampus ini diawal judul apakah karena berdasarkan alfabet atau apa inilah yang menjadi tanda tanya ?
Dan terbukti, ketika RKM melihat tayangan yang disiarkan oleh tayangan kriminal di stasiun televisi yang diawaki oleh Rossi.S dimana pada saat gelar perkara atau sweeping di kedua kampus pada tengah malam dimana kalau dibandingkan atau disejajarkan soal barang bukti ternyata diam-diam kampus yang menjadi lawan UKI memiliki barang bukti atau peralatan perang yang lebih banyak dan lebih parah dari apa yang ditemukan di kampus UKI seperti ditemukan banyaknya kelereng, bom molotov, dan banyaknya batang bambu kalau sudah seperti ini kira-kira anda masih menyalahkan UKI ?
RKM juga ingin mengkritik aparat Intelkam dan para penyidik Reserse Kriminal dari Kepolisian Metropolitan Jakarta Pusat-Polres Jakarta Pusat yang dalam menyidik dan menginvestigasi hanya bermuara pada satu pihak saja yaitu UKI padahal kita semua tahu mulai dari orang waras hingga orang sakit jiwa bahwa yang sedang bermain batu dan molotov di jalan Salemba selsa (14/10) kemarin adalah Mahasiswa UKI dan YAI TETAPI KENAPA yang ditangkap adalah mahasiswa UKI sedangkan mahasiswa YAI yang jelas-jelasnya terrekam dalam kamera televisi itu melemparkan beberapa bom molotov TIDAK ditangkap !! ini jelas sekali diskriminasi dalam hukum !!
Kalau memang semboyan dari Polisi itu adalah menegakkan keadilan setidaknya mahasiswa dari YAI-pun harus dipanggil bahkan dipesankan kamar mereka di Hotel Prodeo Polres Jakpus, bukankah kabarnya yang beredar sampai ke meja RKM di areal depan Kampus YAI sudah terpampang kalau tidak salah ada 4 buah CCTV kenapa hasil dari rekaman 4 CCTV tidak digunakan sebagai bukti, apakah Polri takut karena (mungkin!) ada unsur kekeluargaan dan “86” dari kedua pihak sehingga yang menjadi korban untuk dijadikan n stigma masyarakat adalah mahasiswa UKI, betul tidak !
Kalau tidak ada masalah kesenjangan sosial dan perebutan lahan parkir secara komersil mungkin dua kampus ini tidak setiap tahun melakukan ritual seperti ini, kita tahu bagaimana kondisi fisik bangunan dari kedua kampus ini ibarat bumi dan langit sehingga timbullah kecemburuan sosial dimana kampus samping UKI padahal baru berdiri sudah bisa menjelajahi semua lapisan masyarakat dengan iklan-iklan mereka sedangkan UKI dengan keterbatasan segalanya hanya bisa seminimal mungkin, selain itu juga salah dari aparat Pemkot Jakarta Pusat.
Apa yang salah dari jajaran Pejabat Pemkot Jakarta Pusat ? jelas salah ! karena pertama, memberikan ijin mendirikan bangunan yang jelas-jelas itu tanah hibahan dari sebuah organisasi keagamaan internasional dan daerah tersebut adalah daerah cagar budaya artinya tidak boleh dirombak sampai menghilangkan aslinya, kedua, setahu RKM bahwa ada kebijakan dari jajaran Pemkot dan Pemprov terdahulu bahwa areal di sekitar Jl. Diponegoro dan sekitarnya setiap bangunan hanya boleh dibangun sampai dengan 3 lantai tidak boleh lebih (anda bisa lihat sendiri sepanjang Jl. Diponegoro. RSCM saja baru-baru ini menambah lantai) TETAPI kenapa gedung YAI bisa berdiri tegak bak twin tower WTC, sementara UKI yang penulis dengar ingin merenovasi bangunannya di TOLAK dengan alasan cagar budaya! Dari sini saja kita bisa melihat latar belakang dari kasus tawuran ini belum lagi urusan komersil seperti lahan parkir hingga penghasilan narkoba yang menurut data yang pernah RKM dapat dari sebuah informan dan juga mantan aparat Intelkam Jakpus bahwa Jl. Diponegoro dan sekitarnya termasuk didalam kampus samping UKI pernah menjadi urutan nomor wahid a.k.a. nomor satu transaksi Narkoba untuk wilayah hukum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya ( POLDA METRO JAYA) yang selama ini diduduki oleh kawasan Jl. Kyai Tapa termasuk di areal parkir sebuah kampus, dan mencapai penghasilan lebih dari Rp. 1 Juta untuk segala bentuk narkoba salahsatunya adalah ganja, kalau sudah seperti ini apakah hanya satu kampus saja yang harus terkena stigma sosial akibat masalah ini !
RKM juga tidak sependapat dengan pernyataan daripada Ibu Walikota yang mengatakan bahwa satu-satunya jalan supaya tidak menjadi agenda tahunan bagi kedua adalah kedua kampus harus dipindahkan ! yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kepada Ibu Walikota adalah apakah ini solusi terbaik, lalu bagaimana nasib dari gedung kedua kampus itu jika mereka pindah ? kemudian apakah Pemkot mau mendanai kepindahan mereka dan memberikan tempat sebagai ganti dari kampus mereka yang sekarang ! Tolonglah Ibu Walikota, anda kalau memberikan pernyataan atau sikap yang direkam oleh media dan dibaca oleh semua masyarakat dipikirkan dulu, memangnya memindahkan sebuah institusi semudah pindah rumah ! tidak segampang itu Ibu walikota lantas gedung kedua kampus itu kalau dipindahkan dibiarkan kosong begitu atau memang ini rencana dari dulu yang dilakukan oleh Pemkot Jakarta Pusat untuk memindahkan kedua kampus ini dan lahan yang selama ini ditempati oleh dua universitas itu akan dijadikan fasilitas umum seperti yang terjadi di Stadion Menteng begitu.. ? Ingat ! para pendahulu anda saja sudah membuat kesalahan bahwa jalur sebelah kiri Jl. Diponegoro adalah lokasi Cagar budaya yang mana anda tahu sendiri yang namanya Cagar Budaya ada UU-nya kalau melanggar sanksinya keras, seperti kasus Stadion Menteng sebenarnya Gubernur dan Walikota Jakarta Pusat terdahulu bisa menginap di Hotel Prodeo, tetapi ya itulah di negara ini yang namanya Keadilan bagi orang kecil dan mengerti akan budaya selalu dimarjinalkan !!
Apakah ini akan menjadi agenda rutin tahunan bagi kedua kampus dalam menjelang tahun akademik baru ? kita lihat saja nanti apakah yang namanya keadilan itu di Jl. Diponegoro dapat benar-benar sesuai dengan arti kata Keadilan itu sendiri!!
Diponegoro82 -Jakpus 201008
Rvanca
Temporary Director of RKM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar