RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR……TAHUN …..
TENTANG PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MENIMBANG :
a.Bahwa negara Indonesia adalah NEGARA HUKUM yang berdasarkan Pancasila DENGAN MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI MORAL, etika, AKHLAK MULIA, dan kepribadian luhur bangsa, BERIMAN DAN BERTAKWA KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiapwarga negara;
b.bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakinberkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dantatanan sosial masyarakat Indonesia;
c.bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografiyang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum sertaperkembangan masyarakat;
d.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentangPornografi;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melaluiberbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden RepublikIndonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
PASAL 2
PENGATURAN PORNOGRAFI BERASASKANKETUHANANYANG MAHA ESA, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan,kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindunganterhadap warga negara.
PASAL 3
PENGATURAN PORNOGRAFI BERTUJUAN :
a. MEWUJUDKAN dan memelihara TATANAN KEHIDUPAN MASYARAKAT YANG beretika, berkepribadian luhur, MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KETUHANAN YANG MAHA ESA, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. MEMBERIKAN PEMBINAAN DAN PENDIDIKANTERHADAP MORAL DAN AKHLAK MASYARAKAT;
c. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
d. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks dimasyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau e. alat kelamin.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b.menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c.mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d.menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsunglayanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalampertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografilainnya.
Alternatif
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalampertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografilainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objeksebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal9, atau Pasal 10. Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produkatau jasa pornografi. Pasal 13 (1)
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturanperundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus. Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a. seni dan budaya; b. adat istiadat; dan c. ritual tradisional. Pasal 15
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan,dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB III PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 16
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Pasal 17 (1)
Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu Peran Pemerintah
Pasal 18 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 19 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintahberwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 20 Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.
BAGIAN KEDUA PERAN SERTA MASYARAKAT PASAL 21
MASYARAKAT DAPAT BERPERAN SERTA DALAM MELAKUKAN PENCEGAHAN TERHADAP PEMBUATAN, PENYEBARLUASAN, DAN PENGGUNAAN PORNOGRAFI.
PASAL 22 (1)PERAN SERTA MASYARAKAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat DILAKUKAN DENGAN CARA:
1. a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan d. MELAKUKAN PEMBINAAN KEPADA MASYARAKAT TERHADAP BAHAYA DAN DAMPAK PORNOGRAFI.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat(1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturanperundang-undangan.
BAB V PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 24
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaranpornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum AcaraPidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 25
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentangHukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindakpidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 26
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 27 Penyidik
membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalamPasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilikdata, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempatdata tersebut didapatkan.
Pasal 28
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedangdiperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan parapejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajibmerahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan,baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan ataudihapus.
BAB VI PEMUSNAHAN Pasal 29
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi; b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan; c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 30
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyakRp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana dendapaling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda palingsedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) danpaling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal35
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objekatau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksuddalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00(lima miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalampertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografilainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana denganpidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 38
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyeksebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang samadengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3(sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 39
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas namasuatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukanterhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindakpidana tersebut dilakukan oleh orang orang, baik berdasarkanhubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalamlingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya penguruskorporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pulamemerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa kesidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, makapanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebutdisampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempatpengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidanadenda dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidanadenda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasidapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a) pembekuan izin usaha;
b) pencabutan izin usaha
c) perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d) pencabutan status badan hukum
.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan. Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 44 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undangini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ......
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
KETUA PANSUS
DRS. H. BALKAN KAPLALE
WAKIL KETUA
DRA. HJ. CHAIRUNNISA, MA
WAKIL KETUA
AGUNG SASONGKO
WAKIL KETUA
H. SAFRIANSYAH, BA
WAKIL KETUA
DRA. HJ. YOYOH YUSROH
MENTERI AGAMA RI
MUHAMMAD M. BASYUNI
MENKUMHAM
ANDI MATTALATTA
MENKOMINFO
PROF.DR.IR. MOHAMMAD NUH, DEA
MENEG PP
PROF.DR. MEUTIA HATTA SWASONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI
I. UMUM Negara Republik Indonesia adalah NEGARA HUKUM yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 DENGAN MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI MORAL, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, BERIMAN DAN BERTAKWA KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosialmasyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkanmelalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorongpenguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia. Pengaturanpornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur tentang pornografi.
PENGATURAN PORNOGRAFI BERASASKANkepada KETUHANAN YANG MAHA ESA, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, antidiskriminatif, dan perlindungan terhadap warga negara, yang berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini:
(1) MENJUNJUNG TINGGINILAI-NILAI MORAL YANG BERSUMBER PADA AJARAN AGAMA;
(2) menghormati dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk;
(3) memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
(4) melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi. Pengaturanpornografi dalam Undang-Undang ini meliputi: (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2)perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan. Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikanterhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang inimewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warganegara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1) Huruf a Yangdimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lainpersenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual.
Huruf b Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “mengunduh” adalah yang dikenal dengan istilah “down load”.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya. Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan. Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan. Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan. Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi. Pasal14 Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukupjelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
KETUA PANSUS
DRS. H. BALKAN KAPLALE
WAKIL KETUA
DRA. HJ. CHAIRUNNISA, MA
WAKIL KETUA
AGUNG SASONGKO
WAKIL KETUA
H. SAFRIANSYAH, BA
WAKIL KETUA
DRA. HJ. YOYOH YUSROH
MENTERI AGAMA RI
MUHAMMAD M. BASYUNI
MENKUMHAM
ANDI MATTALATTA
MENKOMINFO
PROF.DR.IR. MOHAMMAD NUH, DEA
MENEG PP
PROF.DR. MEUTIA HATTA SWASONO
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar