Senin, 27 Oktober 2008

Merahnya Muka Pak Beye di RRC



Para pembaca dan pengunjung blog ini pasti akan bingung dan bertanya kenapa dengan judul diatas, sebenarnya tidak ada masalah dengan judul diatas tetapi penulis ingin memberikan sedikit penambahan kata saja biar anda semua bingung.

Kenapa muka Pak Beye di RRC, apakah karena cuaca disana yang mengakibatkan muka Pak Beye merah, ternyata muka Pak Beye berkaitan dengan acara dan topik yang dibawakan oleh Pak Beye ketika berada di RRC. Pak Beye berada di RRC untuk menghadiri pertemuan antar pemimpin negara tingkat Asia dan Eropa atau Asia Europe Meeting, disela-sela menunggu pertemuan tersebut Pak Beye memberikan kuliah umum tentang Indonesia di Peking University.

Kenapa muka Pak Beye merah padam, ini dikarenakan ketika ada sesi tanya jawab ada seorang mahasiswi Peking University bertanya kepada Pak Beye yang intinya adalah kecenderungan muda-mudi etnis Jawa tidak bisa berbahasa Jawa yang baik dan benar, dan pertanyaan ini dibawakan dengan bahasa Indonesia dan Jawa Kromo Hinggil (halus) karena mahasiswi yang bertanya pernah kuliah di UGM Jogjakarta.

"Pak, saya pernah belajar Kromo Hinggil di UGM, dados kulo saget boso Jawi. Tapi yang membuat saya heran, justru di Yogyakarta sendiri warganya jarang yang bisa bahasa Jawa halus, terutama anak mudanya,"


ketika itu terlontar, spontan mahasiswa yang mengerti akan bahasa Indonesia langsung tertawa, tetapi tidak dengan rombongan kepresidenan yang diantaranya para menteri yang nampak seperti tersindir begitu juga Pak Beye yang tidak bisa menahan senyumnya dan memberikan jawaban singkat dimana beliau sebagai kepala negara Pak Beye berkewajiban melestarikan kekayaan budaya Indonesia yang salahsatunya adalah bahasa daerah.

Sebegitu parahkah, muda-mudi di Indonesia sudah meninggalkan bahasa daerah mereka ? itulah pertanyaan penulis dan mungkin sebagian orangtua ketika melihat arus informasi yang begitu luas sehingga tidak ada lagi yang namanya budaya.

Kita tidak usah menutup mata dan telinga kita melihat ini semua, kaum muda-mudi sekarang beda dengan kaum muda-mudi yang sekarang sudah menjadi orangtua, kalau dulu setiap kegiatan pasti selalu berhubungan dengan kaidah-kaidah budaya dan akan teguh terus dipegang, tetapi kalau sekarang itu semua semakin lama semakin pupus, seperti kita jarang melihat upacara perkawinan menggunakan adat suatu etnis sampai detail, kalaupun ada dikarenakan keturunannya masih memegang teguh prinsip upacara itu.

Apa yang dipertanyakan oleh Mahasiswi tersebut ada benar tetapi kita juga harus melihat realita yang ada saat ini, negara kita memiliki kalau tidak salah sekitar 5,000 lebih bahasa daerah yang terhampar dari ujung Sumatera hingga Papua itu belum termasuk dari satu daerah itu memiliki banyak bahasa seperti bahasa batak didaerah utara beda pengucapan dan arti dengan didaerah selatan begitu juga di Jawa.

Soal tidak pedulinya muda-mudi dalam menguasai bahasa daerah sebenarnya ada beberapa faktor seperti, pertama, kurangnya peran orangtua dalam menjelaskan dan memberikan pengetahuan budaya yang menjadi identitas mereka, karena orangtua sekarang dituntun untuk melakukan kegiatan yang hasilnya untuk sang anak seperti bekerja, kedua, tidak adanya informasi seperti pusat kebudayaan daerah sebagai tempat menjawab pertanyaan muda-mudi ini akan identitas latar belakang budaya mereka, sebenarnya ada tempat untuk memberikan informasi tentang budaya Indonesia tetapi kondisinya sangat memprihatinkan dan tidak selalu diperbaharui sehingga mungkin para muda-mudi ini tidak tertaring dengan yang namanya budaya tradisional.

Ketiga, tidak adanya stasiun televisi yang memberikan porsi jamnya untuk menayangkan acara berlatarbelakang budaya suatu etnis, kalaupun ada hanya sekian persen dan itu biasanya kalau sedang ada acara yang melibatkan seorang pejabat penting negara kalau tidak ada ya tidak ditayangkan, misalnya beberapa waktu lalu ada sebuah pesta yang diadakan oleh sebuah marga di Sumatera Utara, atau ada acara kremasi (ngaben) di Bali dimana jenazah adalah seorang anggota kerajaan bali.

Sebenarnya melestarikan bahasa daerah ini sangatlah mudah supaya tidak hilang atau di copy paste oleh negara tetangga yaitu, pertama, selalu orangtua didalam rumah ketika berkumpul atau berbicara selalu menggunakan bahasa daerah sehingga jika anak tidak tahu mereka akan bertanya dan orangtuapun secara tidak langsung mengajarkan dan mengartikan apa yang orangtua ini perbincangkan.

Kedua, lebih mengaktifkan kembali mutu pendidikan lokal yaitu dalam setiap tahun akademik baru memasukkan mata pelajaran bahasa daerah walaupun hanya sebagai muatan lokal syukur kalau bisa jadi mata pelajaran wajib, paling tidak para siswa tahu akan bahasa daerah tempat mereka berpijak dan hidup. Ketiga, peran media pun harus ikut membantu misalnya setiap satu minggu sekali paling tidak satu halaman menyajikan berita dalam bahasa daerah, atau menyiarkan berita dalam bahasa daerah serta menyajikan berita yang berkaitan dengan kegiatan kebudayaan setempat.

Dengan alternatif itu paling tidak budaya kita dalam berbahasa daerah tidak langsung hilang begitu saja karena masih bisa diselamatkan walaupun hanya sedikit yang menggunakan, dan yang paling utama adalah kita harus bangga terhadap bahasa daerah kita, karena bangsa luar saja bisa mengacungi jempol bahkan mereka meninggalkan beratus-ratus mill dari negaranya ke negara kita hanya untuk belajar bahasa daerah sementara kita yang sudah bertahun-tahun berdiam malah meninggalkannya ini akan menjadi aneh.

Apakah bahasa daerah di Indonesia semakin lama semakin hilang akibat arus globalisasi atau semakin kuat sehingga Dunia memberikan apresiasinya kepada Indonesia sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan ? kita tunggu saja, kalau bukan kita sebagai warga Indonesia yang menjaganya siapa lagi !…

Stasiun Jatinegara 241008, 22:45
RKM- 34

Tidak ada komentar: