Senin, 17 November 2008

Kapan Indonesia bisa Mewujudkan Birokrasi Anti Korupsi ? Ya Kapan-kapan…



Apa yang menyebabkan proses hukum dinegara ini tidak pernah beres, atau banyaknya putusan pengadilan yang jauh dari perkiraan atau maraknya praktek korupsi, itu dikarenakan oleh peran hakim sebagai ujung tombak peradilan. Fakta yang ada di lapangan, rupanya masih banyak hakim yang mencoreng peradilan di Indonesia karena melakukan jual-beli hukum.

Hal ini yang diungkap oleh Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia, Busyro Muqoddas dalam acara diskusi yang penulis ikuti bertajuk 'Mewujudkan Birokrasi Anti Korupsi' yang diselenggarakan kerjasama antara Universitas Paramadina dengan Bung Hatta Anti Corruption Award selasa (11/11/2008) selain menampilkan Ketua Komisi Yudisial , ada juga mantan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2003-2007, Amien Sunaryadi dan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani yang kebetulan berhalangan karena mempersiapkan diri mewakili Indonesia dalam Forum Menteri Keuangan negara berkembang atau pertemuan G-20 yang berlangsung di Brazillia-Brazil.

Menurut Busyro ada tiga modus operandi dari para hakim ini dalam melakukan praktek jual-beli hukum atau vonis yaitu, pertama, menunda persidangan dengan alasan seperti sakit, belajar lagi dan lain hal. Kedua, dengan cara memanipulas fakta hukum dan yang terakhir menurut Busyro adalah melakukan doktrin-doktrin hukum yang salah, sehingga hingga sekarang banyaknya proses hukum yang tidak jelas arahnya.

Lain hal dengan manta anggota KPK, Amien Sunaryadi mengatakan ada lima hal yang bisa menyelamatkan negara ini dari Korupsi laten yaitu, pertama, adanya strategis pemberantasan korupsi secara nasional, usaha ini tidak akan berhasil kalau semua element yang ada dinegara ini untuk bersatu.

Kedua, adanya DPR yang kuat dengan tugas sebagai legislasi dalam hal pemerintahan, kemudian dalam hal budget atau keuangan, lalu dalam hal pengawasan yang sangat ketat serta merepresentatifkan kepada publik soalnya pentingnya memberantas korupsi. Ketiga, peran Mahkamah Agung dan Pengadilan harus bisa mengambil keputusan yang tepat dan tegas tanpa ada intervensi dari manapun, walaupun kita tahu 1 mahkamah agung harus mengawasi 871 pengadilan di seluruh Indonesia.

Keempat, memperkuat lagi badan korupsi yang sudah ada, kalau perlu mencontoh badan korupsi yang ada di HongKong. Kelima, menangkap koruptor besar dengan menganalisa dan melihat jaringan network dari koruptor tersebut atau jaringan pendanaan yang sangat kuat dari koruptor ini.

Apa yang disampaikan oleh panelis tersebut menurut penulis penting untuk negara ini, tetapi yang menjadi masalahnya adalah mulai kapan dan mulai dari mana harus membrantas ini semua, menurut penulis hal yang utama untuk menghilangkan budaya korupsi ini adalah mulai dari kita sendiri untuk tidak melakukan korupsi dalam hal apapun seperti mengurus surat-surat misal KTP, dan mau menggertak dan melaporkan petugas yang ingin mengajak kita untuk korupsi, walaupun kenyataan dilapangan banyak pimpinan institusi yang membela anak buahnya yang jelas-jelas salah.

Kemudian adanya reward berupa gaji tambah atau insentif lainnya misalnya kenaikan pangkat atau posisi bagi karyawan yang dalam bekerja tidak melakukan korupsi atau menindak koleganya yang ingin mengajak berkorupsi berjamaah, atau punishment dengan menunda kenaikan pangkat sampai dengan tidak diberikannya gaji selama beberapa bulan, paling tidak untuk memberikan shock therapy dan tidak lagi melakukan perbuatan itu.

Jadi kapan Indonesia bisa mewujudkan birokrasi anti korupsi ? Kapan-kapan aja ya…

Paramadina, 111108 09:15

Rvanca / RKM-9 / RKM-19

Tidak ada komentar: