Beberapa hari belakangan ini mungkin warga Ibukota dan kota-kota besar di Indonesia bisa merasakan arti dari yang namanya keamanan, yaitu pada saat ini Kepolisian Republik Indonesia terutama Direktorat Reserse Kriminal sedang menggalakkan operasi khusus untuk memberantas yang namanya preman, kapak merah bahkan debt collector yang selama ini mereshkan masyarakat.
Tetapi apakah dengan operasi ini, keamanan di DKI dan wilayah Indonesia bisa aman dari yang namanya premanisme ? menurut penulis yang namanya operasi atau tindakan yang dikeluarkan sebuah institusi dinegara ini pastinya selau anget-anget tahi ayam alias Cuma sementara dalam hitungan 3-6 bulan selanjutnya, tidak ada gaungnya.
Kenapa judul diatas seperti itu, ini mungkin bisa menjadi gambaran dan membuka mata kita dengan apa yang Polisi lakukan dengan kehidupan di jalan. Penulis kebetulan sedang berkunjung ke salahsatu Polres di Jakarta, sambil menunggu rekan yang sedang ada urusan dengan SPK, penulis berkeliling kantor Polres tersebut untuknya pake ID-Card jadinya tidak masalah masuk ke salahsatu koridor bertemu dengan seorang yang menurut perwira di sana adalah preman, penulis coba bertanya ternyata pemuda ini sebut saja Joko adalah tukang parkir disalahsatu ruko, hasil yang didapat dari usaha ini bisa membiayai dapur rumahnya yang terdiri dari kedua adiknya dan orangtuanya.
Joko mengaku paling apes bisa membawa uang ke rumah Rp.60,000 dan itu sudah dipotong sana-sini termasuk kepada centeng serta dinas perpakiran DKI, hanya saja hari itu benar-benar apes buat Joko karena dia ditangkap oleh petugas kepolisian yang sedang menyamar sebagai konsumen, saat mau menerima uang Rp.2,000 tangannya langsung diborgol dan diangkut ke dalam sebuah mobil kemudian meluncurlah ke kantor Polres itu dengan tuduhan premanisme.
Soal premanisme di Indonesia sudah ada sejak tahun 1980, dimana awalnya untuk kepentingan politik belaka, ada juga kepentingan politik lainnya dengan mengusung perintah tembak mati bagi para preman dengan istilah Petrus (Penembak Misterius). Pada era reformasi 1998, tingkah laku premanisme masih seperti dahulu dimana untuk kepentingan politik dengan cara berkonvoi sepeda motor dengan menggunakan baju atau pakaian seperti layaknya atribut loreng militer dan membuat warga ketakutan.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kita bisa atau Polri tahu mana yang preman mana yang bukan ? seperti kasus Joko diatas, kalau menurut penulis Joko bukanlah tipe dari preman, walaupun kegiatan dia hampir mirip dengan preman. Tetapi bagaimana sekelompok manusia yang kerjaannya meresahkan masyarakat dengan berlindung di sebuah kain yang menjadi seragam kebesaran mereka, penulis tidak usah sebut nama kelompok ini karena kita sudah tahu bagaimana kelakuan dan tingkah laku dari kelompok ini, seperti selalu merusak fasilitas umum, selalu mengatasnamakan suatu agama, tetapi polisi tidak berbuat apa-apa begitu juga dengan pengadilan tempat dimana mencari keadilan justru berat sebelah dengan meringankan pidana penjara kepada ketua kelompok, jadi menurut anda yang pantas menyandang preman siapa seorang Joko atau kelompok yang berlindung pada seragam kebesaran dan aliran agama ? Penulis juga menyangsikan dengan kebijakan Polri dengan ucapan "Kalau itu mengganggu Anda dan lapor, kami akan tindak" benarkah langsung ditanggapi dan diproses secara hukum dengan menggunakan perangkat hukum yang bisa membuat mereka jera ? kita lihat saja perkembangannya apakah yang ditangkap para preman yang artian sebenarnya yaitu para kelompok berseragam ini atau seorang Joko yang memang mereka bekerja untuk mencari sesuap nasi ?
Trunojoyo 111108 12:30
RKM- 48
Tetapi apakah dengan operasi ini, keamanan di DKI dan wilayah Indonesia bisa aman dari yang namanya premanisme ? menurut penulis yang namanya operasi atau tindakan yang dikeluarkan sebuah institusi dinegara ini pastinya selau anget-anget tahi ayam alias Cuma sementara dalam hitungan 3-6 bulan selanjutnya, tidak ada gaungnya.
Kenapa judul diatas seperti itu, ini mungkin bisa menjadi gambaran dan membuka mata kita dengan apa yang Polisi lakukan dengan kehidupan di jalan. Penulis kebetulan sedang berkunjung ke salahsatu Polres di Jakarta, sambil menunggu rekan yang sedang ada urusan dengan SPK, penulis berkeliling kantor Polres tersebut untuknya pake ID-Card jadinya tidak masalah masuk ke salahsatu koridor bertemu dengan seorang yang menurut perwira di sana adalah preman, penulis coba bertanya ternyata pemuda ini sebut saja Joko adalah tukang parkir disalahsatu ruko, hasil yang didapat dari usaha ini bisa membiayai dapur rumahnya yang terdiri dari kedua adiknya dan orangtuanya.
Joko mengaku paling apes bisa membawa uang ke rumah Rp.60,000 dan itu sudah dipotong sana-sini termasuk kepada centeng serta dinas perpakiran DKI, hanya saja hari itu benar-benar apes buat Joko karena dia ditangkap oleh petugas kepolisian yang sedang menyamar sebagai konsumen, saat mau menerima uang Rp.2,000 tangannya langsung diborgol dan diangkut ke dalam sebuah mobil kemudian meluncurlah ke kantor Polres itu dengan tuduhan premanisme.
Soal premanisme di Indonesia sudah ada sejak tahun 1980, dimana awalnya untuk kepentingan politik belaka, ada juga kepentingan politik lainnya dengan mengusung perintah tembak mati bagi para preman dengan istilah Petrus (Penembak Misterius). Pada era reformasi 1998, tingkah laku premanisme masih seperti dahulu dimana untuk kepentingan politik dengan cara berkonvoi sepeda motor dengan menggunakan baju atau pakaian seperti layaknya atribut loreng militer dan membuat warga ketakutan.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kita bisa atau Polri tahu mana yang preman mana yang bukan ? seperti kasus Joko diatas, kalau menurut penulis Joko bukanlah tipe dari preman, walaupun kegiatan dia hampir mirip dengan preman. Tetapi bagaimana sekelompok manusia yang kerjaannya meresahkan masyarakat dengan berlindung di sebuah kain yang menjadi seragam kebesaran mereka, penulis tidak usah sebut nama kelompok ini karena kita sudah tahu bagaimana kelakuan dan tingkah laku dari kelompok ini, seperti selalu merusak fasilitas umum, selalu mengatasnamakan suatu agama, tetapi polisi tidak berbuat apa-apa begitu juga dengan pengadilan tempat dimana mencari keadilan justru berat sebelah dengan meringankan pidana penjara kepada ketua kelompok, jadi menurut anda yang pantas menyandang preman siapa seorang Joko atau kelompok yang berlindung pada seragam kebesaran dan aliran agama ? Penulis juga menyangsikan dengan kebijakan Polri dengan ucapan "Kalau itu mengganggu Anda dan lapor, kami akan tindak" benarkah langsung ditanggapi dan diproses secara hukum dengan menggunakan perangkat hukum yang bisa membuat mereka jera ? kita lihat saja perkembangannya apakah yang ditangkap para preman yang artian sebenarnya yaitu para kelompok berseragam ini atau seorang Joko yang memang mereka bekerja untuk mencari sesuap nasi ?
Trunojoyo 111108 12:30
RKM- 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar