Rabu, 24 Desember 2008

Brutalnya Polisi di Negara ku tercinta ini


Percuma saja Jenderal BHD selaku Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia-Kapolri beserta jajarannya membuat citra polisi kita semakin hari semakin bagus lewat cara operasi citra Polisi 2008 yang dicanangkan oleh Direktorat Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia-Ditlantas Mabes Polri dimana seorang polisi harus menunjukkan citra yang positif kepada masyarakat dengan cara tidak menerima suap dari para calo atau timer, serta memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang ingin bertanya, kemudian program yang kedua adalah bagian Direktorat Reserse Kriminal Mabes Polri bersama dengan Direktorat I keamanan Transnasional Mabes Polri menggelar operasi preman dimana semua preman dan kelompok yang terindikasi sebagai preman atau pengacau lingkungan ditangkap dan diproses secara hukum.



"Waktu dibawa polisi dia terlihat pingsan," ujar seorang saksi mata yang tidak ingin disebutkan namanya.


Tetapi dua usaha yang dilakukan oleh Jenderal BHD dalam program 100 hari itu rusak karena anggotanya sendiri yang berada di dua tempat wilayah, yaitu di wilayah hukum Makassar dan Yogyakarta dimana hanya satu kata untuk polisi di dua wilayah ini yaitu BRUTAL !

Kenapa brutal ? ini terkait dengan dua peristiwa di dua wilayah hukum polisi yaitu yang pertama adalah di Jogjakarta dimana puluhan pendemo ditangkap polisi bahkan dengan kekerasan seperti ditangkap lalu para polisi tersebut membentuk lingkaran kecil dan memukul secara bergantian tersebut para prajurit tersebut ke arah mahasiswa atau menyeret mereka bergesekan dengan aspal jalan sambil dipukul, kejadian ini terkait dengan kedatangan kunjungan RI-1 ke Jogjakarta, yang kedua tidak jauh beda bahkan lebih tragis daripada kejadian di Jogjakarta, kejadian ini berlangsung di kota Makassar tepatnya yang bertikai adalah mahasiswa Universitas Hasanuddin-Makassar dengan aparat Polisi dari unit perintis Poltabes Makassar dimana ada beberapa mahasiswa yang diinjak-injak oleh Polisi, dipukul dan tindakan keji lainnya.

Apa yang dipertontonkan oleh para aparat ini sungguh memalukan apalagi ditayangkan oleh semua stasiun televisi nasional maupun lokal, percuma saja Kapolri, Ditlantas dan BaReskrim Mabes Polri membuat kebijakan yang gunanya lebih memasyarakatkan polisi ditengah masyarakat kalau dirusak oleh sekelompok polisi hanya karena urusan yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan negosiasi dan dialog tetapi adu fisiklah yang lebih berkuasa daripada dua hal yang halus itu.



"Saya tadi menelepon Kapolda agar menarik pasukannnya karena dosisnya sudah tidak wajar,"
Rektor Unhas, Idrus Paturusi



Menurut penulis apa yang di tampilkan oleh para aparat kepolisian ini sudah dibatas kewajaran norma tentang HAM dan ini perlu diselesaikan dengan hukum, penulis berpandangan bahwa polisi sekarang semakin menunjukkan jati dirinya sebagai polisi setelah “cerai” dari ABRI dan langsung berada di Presiden selaku “The God Father” mereka ketimbang TNI yang berada dalam kekuasaan Menteri Pertahanan Republik Indonesia, salah satu yang mencolok sekali arogannya adalah pada saat mengawal dan mengamankan demo terutama demo yang dilakukan oleh mahasiswa dan kaum minoritas seperti buruh migran selalu diwarnai ketegangan sampai berakhir kericuhan.

Yang sangat disayangkan adalah dari tindakan polisi ini adalah tidak ada tanggung jawab moral daripada komandan lapangan mereka terhadap anak buah mereka, kita tahu latar belakang pendidikan dari para perwira polisi yang selalu berada berhadapan face to face dengan pendemo adalah lulusan SMA, jadi kalau ada kericuhan atau bentrok itu sama saja kita melihat anak SMU sedang tawuran sementara KEMANA para komandan mereka dilapangan yang mulai berpangkat letnan dua hingga mayor berada ketika itu terjadi ? ini terbukti berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis ketika kampus sedang rusuh akibat tawuran atau demo yang berakhir rusuh, dimana puluhan personel dikerahkan untuk menetralisir keadaaan sampai terkendali turun ke jalan, tetapi kemana para komandan mereka, disaat para anak buah sedang menjaga keamanan dari kericuhan tadi ternyata para komandan mereka sedang ongkang-ongkang kaki disalah satu rumah makan padang sambil mengorek sela gigi karena ada sisa makanan dengan tusuk gigi sambil bercanda dengan sejawatnya, tulisan ini bukan sekedar tulisan sensasi tetapi berdasarkan fakta yang penulis lihat sendiri, ketika itu sedang membantu kawan membeli sebungkus nasi, ketika berada disana agak kaget dengan banyaknya beberapa komandan duduk bersama di dua meja jadi satu makan besar sepertinya, tetapi apakah di nurani mereka terpikir bagaimana dengan anak buahnya yang terus-terusan menjaga situasi tanpa tahu apakah anak buahnya sudah makan atau belum dari tadi pagi.

Sudah sepantasnya dan selayaknya para personel polisi ini baik yang terjadi di Jogjakarta maupun di Makassar untuk diproses secara hukum dan transparan kepada publik, karena selama ini penulis melihat banyak kasus seperti bentrok aparat dengan mahasiswa sampai brutal diajukan ke dewan pengawas dan Propam Polri tetapi tidak terbuka hasil akhir kasus ini kepada publik yang ada hanya mungkin teguran dan mutasi ke tingkat Polda kalau personil ini berada dari lingkungan Polsek, Polres, Polwil, Poltabes atau Polri kalau tingkatan Polda dengan jabatan non struktural kemudian dalam hitungan 6 bulan sampai 1 tahun begitu ada telegram rahasia Kapolri instruksi mutasi, personil yang kena kasus dan ditarik ke Polda atau Mabes ini akan masuk dalam mutasi tersebut, kalau sudah seperti ini apanya yang namanya adil dan kebenaran ? padahal bukti sudah ada seperti banyaknya kamera televisi nasional bahkan asing yang jelas-jelas menyorot secara dekat muka daripada para personil yang melakukan kekerasan..

Menurut penulis yang terpenting adalah dalam kasus ini semua pihak tanpa terkecuali di panggil termasuk dari kalangan mahasiswa untuk berani melaporkan institusi ini ke meja hijau dan dalam proses hukumnya pun bukan hanya komandannya yang kena sanksi tetapi semua anak buah yang menjadi tanggungannya harus bertanggung jawab karena selama ini komandannya lah yang bertanggung jawab sementara anak buahnya merajalela memang disatu sisi ada sifat dari seorang ksatria tetapi itu bukan sebagai pembelajaran buat anak buah malah makin menjadi karena mungkin prinsip mereka berbuat salah terus saja yang penting saya tidak kena, yang kena kan komandan saya.

Apakah program 100 hari Kapolri akan rusak karena kasus ini dan seterusnya atau program 100 ini tetap berjalan walaupun banyak masyarakat yang sudah tidak simpati dengan korps baju cokelat tribrata ini..kita lihat saja bagaimana tindakan kapolri dalam menindak anak buahnya apakah Cuma dengan mutasi komandannya mulai dari komandan lapangan, Kanit Intelkam Polres hingga Polda atau melikuidasi unit polisi yang menjadi biang kerok dari dua peristiwa ini seperti yang dilakukan oleh Mantan KSAD ketika kota Binjai bergejolak dimana salahsatu unit TNI disana dibubarkan dan baru dibuka lagi 2 tahun kemudian..bisakah seperti itu Kapolri sekarang ? kita lihat saja nanti..waktu yang akan berbicara….

Trunojoyo, 191208

Rh. Lorca
Pendapat Pribadi

Tidak ada komentar: