Seperti menjadi kebiasaan penulis sebelum melakukan penulisan selalu menghaturkan permintaan maaf jika ada kata-kata atau tulisan yang penulis buat membuat sebagaian pembaca merasa tersinggung atau penulis dianggap menista atau apalah, apa yang penulis tulis adalah murni dari pendapat penulis terkait masalah yang penulis lihat, baca dan dengar, sekali lagi maaf.
Beberapa minggu ini terutama masyarakat kecil yang hidup di Daerah Khusus Ibukota Jakarta-DKI Jakarta dibuat heboh akan sebuah berita atau isu, dimana isu tersebut adalah warung-warung makan asal Tegal atau biasa kita kenal sebagai Warteg yang selama ini menjadi tempat makan murah-meriah bagi kalangan masyarakat kecil atau yang berpenghasilan tidak tetap kabarnya awal tahun depan akan dikenakan pajak sebesar 10 persen.
Alasan Pemerintah Kota DKI tentang adanya isu ini adalah berkaitan dengan UU Pendapatan dan Restribusi daerah yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sebagai sarana pendapatan pemerintah dalam hal kelengkapan penunjang pembangunan. Bentuk nyatanya adalah Pemerintah Kota DKI akan menarik pajak sepuluh persen kepada Warteg yang memiliki pendapatan sebesar Rp. 160,000/hari.
Yang menjadi pertanyaan bagi penulis dan juga masyarakat kecil serta jelata yang hidup di DKI adalah kenapa harus warteg yang di korbankan kenapa bukan restoran-restoran atau kedai-kedai kopi yang terkenal yang dinaikkan pajaknya ?
Kita semua sudah tahu lah bagaimana Warteg di negara ini terutama di DKI Jakarta yang mampu meringankan masyarakat terutama masyarakat kecil termasuk para PEGAWAI NEGERI SIPIL baik itu di tingkat Kementerian maupun Pemerintah Daerah atas kekosongan perut mereka setelah seharian bekerja, mungkin sebagian kalangan melihat warteg itu sudah ibaratkan seperti makanan rumah atau makanan yang disajikan dan dimasakkan oleh isteri atau ibu ketika dirumah benar tidak ?!
Bagi penulis tindakan Pemerintah Propinsi DKI yang akan memberikan pajak kepada usaha Warteg adalah tindakan yang konyol dan tidak punya otak ? kenapa penulis mengatakan tindakan konyol dan tidak punya otak, kita bisa lihat berapa sich omset mereka sehari, kalau memang omzet mereka ini rata-rata Rp. 16,000/hari seperti yang diperkirakan oleh Pemprov apakah angka itu mereka bukukkan kedalam semacam buku kas seperti yang kita lihat di restoran-restoran yang mana setiap uang yang masuk dan keluar selalu di tulis dalam pembukuan buku kas ? atau kalau tidak setiap kita sehabis makan apakah kita pernah meminta bon kontan kepada pemilik warung untuk tahu seberapa Rupiah dari apa yang kita makan ? semua pertanyaan itu jawabannya TIDAK!!
Kalau menurut penulis tindakan pemberian pajak oleh Pemprov DKI nantinya akan melahirkan korupsi baru, kenapa penulis korupsi baru ? kita bisa lihat sebelum pemberlakuan pajak sepuluh persen terhadap warteg ini, para pengusaha warteg pun setiap bulan sudah harus ditagih beberapa tagihan yang mungkin bisa mebahayakan jika tidak dibayar dan kita semua tahu lah apa tagihan itu, seperti tagihan keamanan entah itu dari tingkat RT atau yang diminta oleh Ormas-ormas mulai dari berbasis agama atau budaya setempat (tau donk maksudnya) yang sifatnya mungkin datang setiap hari mereka berikan uang atau setiap bulan atau kadang-kadang harus dibayar dengan makan gratis dengan sesuka anggota yang menagih, kemudian tagihan iuran kebersihan. Dari dua iuran ini berapa Rupiah yang harus dikeluarkan dan Rupiah itu apa kabarnya apakah di masukkan kedalam kas negara atau masuk kantong prbadi.
Kemudian ketika berbicara soal pajak penulis ingin bertanya kepada Kepala Dinas Pendapatan dan juga Gubernur DKI, memangnya KEMANA uang-uang para penduduk DKI ketika mereka berbelanja pakaian, keperluan sehari-hari di Mall atau supermarket, makan dan minum kopi di restoran dan kedai-kedai bermerek, membayar PBB, membayar bea balik nama kendaraan, KTP, SIM, STNK, membayar tol, membayar parkir kendaraan yang mana didalam struk tersebut tertulis pajak sebesar 10 persen, KEMANA ? LOGIKA DENGAN OTAK ORANG SEHAT DAN WARAS kalau memang apa yang dibayarkan warga DKI dengan kegiatannya seperti belanja baju serta keperluan sehar-hari, makan dan minum yang namanya PAJAK seharusnya jalan di Jakarta kondisinya mulus, mobil busway banyak, atau saluran air di seluruh DKI tentunya bisa menyerap air hujan sederas apapun TETAPI NYATA-nya !!
Jadi menurut penulis kiranya para pemimpin terutama Kepala Dinas Pendapatan dan juga Gubernur DKI kaji ulang kembali, kalau memang masih bersikeras ingin memberikan pajak kepada Warteg ini, hal yang HARUS dan PALING UTAMA adalah BERANTAS DULU pungutan-pungutan yang tidak jelas yang ada di ibukota ini misalnya tadi uang keamanan dan kebersihan yang di tagih orang yang mengaku-mengaku akan disetor ke kas DKI atau dari ormas-ormas berbasis agama dan budaya setempat yang menurut penulis dana ini lebih besar masuk ke kantong pribadi daripada disetor ke kas negara dan daerah. Kalau ini sudah diberantas dengan cara mempidanakan mereka yang melanggar ini kepada pihak kepolisian, para pengusaha warteg dan warga pun mungkin bisa memaklumi asal kembali lagi adanya transparan kemana uang pajak itu karena selama ini kita hanya bisa dengar uang pajak itu digunakan untuk pembangunan negara tetapi bentuk nyatanya mana ?
Apakah jadi pajak sepuluh persen itu diterapkan tahun depan kepada seluruh Warteg tanpa adanya transparansi dan bukti nyata dari pajak sepuluh persen terhadap pembangunan di DKI seperti tidak ada lagi banjir atau tersedianya sarana Busway jadi dilaksanakan ? kita lihat saja nanti atau jangan-jangan setelah pajak 10 persen ini dan juga adanya pajak atas oleh-oleh dari Luar Negeri, kita akan dikenakan pajak ketika membawa makanan dari rumah pun akan dikenakan pajak juga !!!
Balaikota, 061210 09:00
Rhesza
Pendapat Pribadi
Beberapa minggu ini terutama masyarakat kecil yang hidup di Daerah Khusus Ibukota Jakarta-DKI Jakarta dibuat heboh akan sebuah berita atau isu, dimana isu tersebut adalah warung-warung makan asal Tegal atau biasa kita kenal sebagai Warteg yang selama ini menjadi tempat makan murah-meriah bagi kalangan masyarakat kecil atau yang berpenghasilan tidak tetap kabarnya awal tahun depan akan dikenakan pajak sebesar 10 persen.
Alasan Pemerintah Kota DKI tentang adanya isu ini adalah berkaitan dengan UU Pendapatan dan Restribusi daerah yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sebagai sarana pendapatan pemerintah dalam hal kelengkapan penunjang pembangunan. Bentuk nyatanya adalah Pemerintah Kota DKI akan menarik pajak sepuluh persen kepada Warteg yang memiliki pendapatan sebesar Rp. 160,000/hari.
Yang menjadi pertanyaan bagi penulis dan juga masyarakat kecil serta jelata yang hidup di DKI adalah kenapa harus warteg yang di korbankan kenapa bukan restoran-restoran atau kedai-kedai kopi yang terkenal yang dinaikkan pajaknya ?
Kita semua sudah tahu lah bagaimana Warteg di negara ini terutama di DKI Jakarta yang mampu meringankan masyarakat terutama masyarakat kecil termasuk para PEGAWAI NEGERI SIPIL baik itu di tingkat Kementerian maupun Pemerintah Daerah atas kekosongan perut mereka setelah seharian bekerja, mungkin sebagian kalangan melihat warteg itu sudah ibaratkan seperti makanan rumah atau makanan yang disajikan dan dimasakkan oleh isteri atau ibu ketika dirumah benar tidak ?!
Bagi penulis tindakan Pemerintah Propinsi DKI yang akan memberikan pajak kepada usaha Warteg adalah tindakan yang konyol dan tidak punya otak ? kenapa penulis mengatakan tindakan konyol dan tidak punya otak, kita bisa lihat berapa sich omset mereka sehari, kalau memang omzet mereka ini rata-rata Rp. 16,000/hari seperti yang diperkirakan oleh Pemprov apakah angka itu mereka bukukkan kedalam semacam buku kas seperti yang kita lihat di restoran-restoran yang mana setiap uang yang masuk dan keluar selalu di tulis dalam pembukuan buku kas ? atau kalau tidak setiap kita sehabis makan apakah kita pernah meminta bon kontan kepada pemilik warung untuk tahu seberapa Rupiah dari apa yang kita makan ? semua pertanyaan itu jawabannya TIDAK!!
Kalau menurut penulis tindakan pemberian pajak oleh Pemprov DKI nantinya akan melahirkan korupsi baru, kenapa penulis korupsi baru ? kita bisa lihat sebelum pemberlakuan pajak sepuluh persen terhadap warteg ini, para pengusaha warteg pun setiap bulan sudah harus ditagih beberapa tagihan yang mungkin bisa mebahayakan jika tidak dibayar dan kita semua tahu lah apa tagihan itu, seperti tagihan keamanan entah itu dari tingkat RT atau yang diminta oleh Ormas-ormas mulai dari berbasis agama atau budaya setempat (tau donk maksudnya) yang sifatnya mungkin datang setiap hari mereka berikan uang atau setiap bulan atau kadang-kadang harus dibayar dengan makan gratis dengan sesuka anggota yang menagih, kemudian tagihan iuran kebersihan. Dari dua iuran ini berapa Rupiah yang harus dikeluarkan dan Rupiah itu apa kabarnya apakah di masukkan kedalam kas negara atau masuk kantong prbadi.
Kemudian ketika berbicara soal pajak penulis ingin bertanya kepada Kepala Dinas Pendapatan dan juga Gubernur DKI, memangnya KEMANA uang-uang para penduduk DKI ketika mereka berbelanja pakaian, keperluan sehari-hari di Mall atau supermarket, makan dan minum kopi di restoran dan kedai-kedai bermerek, membayar PBB, membayar bea balik nama kendaraan, KTP, SIM, STNK, membayar tol, membayar parkir kendaraan yang mana didalam struk tersebut tertulis pajak sebesar 10 persen, KEMANA ? LOGIKA DENGAN OTAK ORANG SEHAT DAN WARAS kalau memang apa yang dibayarkan warga DKI dengan kegiatannya seperti belanja baju serta keperluan sehar-hari, makan dan minum yang namanya PAJAK seharusnya jalan di Jakarta kondisinya mulus, mobil busway banyak, atau saluran air di seluruh DKI tentunya bisa menyerap air hujan sederas apapun TETAPI NYATA-nya !!
Jadi menurut penulis kiranya para pemimpin terutama Kepala Dinas Pendapatan dan juga Gubernur DKI kaji ulang kembali, kalau memang masih bersikeras ingin memberikan pajak kepada Warteg ini, hal yang HARUS dan PALING UTAMA adalah BERANTAS DULU pungutan-pungutan yang tidak jelas yang ada di ibukota ini misalnya tadi uang keamanan dan kebersihan yang di tagih orang yang mengaku-mengaku akan disetor ke kas DKI atau dari ormas-ormas berbasis agama dan budaya setempat yang menurut penulis dana ini lebih besar masuk ke kantong pribadi daripada disetor ke kas negara dan daerah. Kalau ini sudah diberantas dengan cara mempidanakan mereka yang melanggar ini kepada pihak kepolisian, para pengusaha warteg dan warga pun mungkin bisa memaklumi asal kembali lagi adanya transparan kemana uang pajak itu karena selama ini kita hanya bisa dengar uang pajak itu digunakan untuk pembangunan negara tetapi bentuk nyatanya mana ?
Apakah jadi pajak sepuluh persen itu diterapkan tahun depan kepada seluruh Warteg tanpa adanya transparansi dan bukti nyata dari pajak sepuluh persen terhadap pembangunan di DKI seperti tidak ada lagi banjir atau tersedianya sarana Busway jadi dilaksanakan ? kita lihat saja nanti atau jangan-jangan setelah pajak 10 persen ini dan juga adanya pajak atas oleh-oleh dari Luar Negeri, kita akan dikenakan pajak ketika membawa makanan dari rumah pun akan dikenakan pajak juga !!!
Balaikota, 061210 09:00
Rhesza
Pendapat Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar