Sabtu, 11 Desember 2010

Ketik Disiksa (spasi) nama (spasi) negara tempat bekerja Kirim ke 722393 ( Pa Beye )


Seperti menjadi kebiasaan penulis sebelum melakukan penulisan selalu menghaturkan permintaan maaf jika ada kata-kata atau tulisan yang penulis buat membuat sebagaian pembaca merasa tersinggung atau penulis dianggap menista atau apalah, apa yang penulis tulis adalah murni dari pendapat penulis terkait masalah yang penulis lihat, baca dan dengar, sekali lagi maaf

Ketika membicarakan masalah negara ini maka tidak akan ada habisnya selalu ada saja masalah yang menghinggapi negara ini mulai dari bencana alam yang hampir dan selalu datang bergiliran layaknya arisan ibu PKK hingga masalah TKI.

”Kami tak bisa berbuat apa-apa karena ini kebijakan dari Jakarta.”
Jenderal (Purn) Achmad Tirtosudiro,
Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi

( 1983 )




Satu bulan menjelang berakhirnya tahun 2010 ini publik dikejutkan walaupun sudah terbiasa tetapi kali ini lebih parah yaitu adanya tindakan penganiayaan parah yang dilakukan oleh seorang janda terhadap tenaga kerja Indonesia yang bernama Sumiyati, akibat tindakan daripada warga Saudi ini membuat sebagian elemen masyarakat terutama LSM yang konsen pada nasib TKI/W berbondong-bondong berdemo ke Kedutaan Besar Saudi Arabia menuntut agar pemerintah Saudi untuk menghukum majikan dari TKW tersebut dengan hukuman paling tinggi yang pernah diberikan oleh pemerintah Saudi terhadap seorang penjahat !

Sepertinya masalah penidasan dan penganiayaan TKI bagi para pemimpin di negeri ini ibarat (maaf) kentut yang keluar kemudian menimbulkan bau sesaat tetapi langsung hilang tertiup angin, kita bisa lihat dan penulis pernah membaca daripada tulisan seorang pemuka agama yang kebetulan saat itu sedang belajar di Saudi tentang penganiayaan seorang TKI, dimana sang pemuka agama ini menanyakan kepada sang Dubes RI tentang penganiyaan TKI yang sangat prihatin dan melihat sepertinya Pemerintah RI seakan tidak peduli akan kasus ini tetapi dengan entengnya sang Dubes mengatakan beliau tidak bisa melakukan apa-apa karena adanya atau menunggu persetujuan dari Jakarta, begitu juga ketika ada seorang Menteri era (kalau tidak salah ) Presiden Megawati atau Gusdur berkunjung ke penampungan TKI di Kedutaan Besar RI di Saudi menanyakan kepada Dubesnya (kala itu) Baharuddin Lopa apa yang sudah di lakukan pihak Kedubes, sang Dubes mengatakan bahwa dia sudah berulang kali mengajukan protes ke negara tuan rumah tetapi sampai detik ini belum ada tanggapan, kalau di lihat seperti menurut penulis kedua negara memang sepertinya TIDAK ADA NIAT untuk memprotes bagi Pemerintahan Indonesia dan bagi Pemerintah Saudi agar kasus ini sebisa mungkin tidak di ekspos karena nantinya dianggap aib besar !

Pertanyaan sekarang adalah, MAU SAMPAI KAPAN para tenaga kerja kita dianiaya, diperkosa, di bunuh, tidak dibayar gaji dan haknya sebagai pekerja dan MAU SAMPAI KAPAN Pemerintah Indonesia hanya DIAM dan DIAM serta BERSUARA ketika ada kasus selebihnya diam ? penulis juga agak tertawa terbahak-bahak dengan ide daripada Presiden SBY yang mengatakan pemerintah akan memberikan dan membagi-bagikan telepon selular kepada para TKI/W yang ada di luar sana sehingga jika terjadi darurat bisa menghubungi Kedutaan Indonesia setempat, pertanyaan sekarang adalah apakah dengan pembagian handphone secara berjamaah kepada para TKI/W bisa menyelesaikan masalah ? kemudian pulsa mereka DARI MANA percuma donk handphone diberikan tetapi pulsa harus cari sendiri benar tidak ? dan satu lagi sebelum ide pemberian handphone secara berjamaah ini di lontarkan semua TKI/W MAMPU dan SANGGUP kok beli handphone bahkan jenis handphone-nya jangan-jangan lebih bagus daripada handphone yang biasa di pakai para pejabat di negara ini,, dan juga majikan mana pun di seluruh dunia pun TIDAK AKAN SUKA melihat para pembantunya bekerja sambil bersms atau bertelepon ria benar tidak pak Presiden atau JANGAN-JANGAN Pembantu Rumah Tangga di rumah Pak Beye yang di Cikeas dalam melakukan kegiatan rumah tangga sehari-hari misalnya mencuci baju, menstrika baju atau masak sambil bertelepon ria DAN TIDAK DITEGUR ?!

Menurut penulis ada beberapa langkah keras dan tegas yang harus ditempuh oleh Pemerintah Indonesia jika ingin nasib TKI/W kita tidak bertambah parah di luar sana yaitu, Pertama, Perwakilan Republik Indonesia baik itu Kedutaan Besar maupun Konsulat Jenderal di negara tujuan para TKI/W harus BENAR memantau keberadaan dan keseharian daripada para TKI/W kita disana, kenapa penulis mengatakan bahwa para diplomat kita harus benar memantau keberadaan dan keseharian daripada para TKI/W kita karena TKI/W memiliki status sosial yang sangat rendah karena di kebanyakan negara berkembang mereka yang punya status sosial rendah selalu dan selalu mudah diabaikan hak-haknya dalam proses hukum.

Selain itu juga kiranya Perwakilan RI juga harus memastikan majikan yang melakukan penganiayaan atau melanggar hak-hak TKI/W dalam bekerja mendapatkan ganjaran setimpal dan menolak keras terjadinya impunitas terhadap mereka, kalau sangat diperlukan sebagai efek jera kiranya Perwakilan RI juga bisa menyebarkan beberapa kali press release atau kronologi kejadian atau mengundang media setempat baik itu yang pro dengan pemerintahan maupun oposisi untuk mengangkat kasus ini dan mempersilahkan wartawan untuk mewawancarai para TKI/W bermasalah atau menjadi korban, karena selama ini opini yang beredar di masyarakat awam atau kalangan pemerintah jika ada seseorang yang bekerja di KBRI atau KJRI adalah orang-orang yang di tanah air memiliki reputasi yang sangat buruk atau kerjanya tidak beres sehingga untuk menutup itu semua pemerintah memutasi mereka atau memberikan “hadiah atas prestasi”nya dengan memberikan satu posisi di kantor perwakilan sehingga jadinya seperti ini banyak TKI/W kita terlantar, teraniaya, dibunuh, diperkosa tetapi pejabat kita hanya bisa berkata-kata tanpa ada tindakan keras yang membuat negara yang telah melecehkan TKI/W kita takut misalnya sang Dubes pulang dan tidak kembali ke negara tersebut!

Kedua, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia kiranya dari sekarang menata kembali program khusus Tenaga Kerja terutama pemberian ijin kepada badan atau perorangan yang ingin mendirikan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia-PJTKI yang selama ini menjadi agen, kalau sekarang di galakkan produk-produk Indonesia berlabel SNI kenapa juga PJTKI ini harus memenuhi Standar Nasional Indonesia kalau perlu standar internasional yang berlaku misalnya yang di rekomendasikan oleh badan PBB khusus pekerja-ILO, dan juga PJTKI ini juga harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian Luar Negeri Indonesia karena selama ini penulis melihat dalam pelaksanaan kerjanya Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terkesan saling menyalahkan ketika ada persoalan tenaga kerja pada inti dari persoalan ini adalah satu yaitu WARGA NEGARA INDONESIA benar bukan !!

Dan juga dalam hal ini kiranya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu melakukan studi banding atau mencontoh mentah-mentah daripada kinerja Kementerian Tenaga Kerja Pemerintah Philipina dalam mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri yang sampai sekarang penulis dan mungkin juga 220 juta rakyat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dari Miangas hingga Rote tidak mendengar ada kasus tenaga kerja Philipina yang diperkosa, dianiaya secara brutal seperti kasus Sumiyati atau di bunuh, padahal secara umum kondisi ekonomi dan geografis Indonesia dan Philipina tidak jauh berbeda dimana masih banyak rakyat yang hidup dalam garis kemiskinan tetapi kenapa Philipina BISA menjaga harkat dan harga diri warganya di luar sana sementara Republik Indonesia ?! kalau perlu TIDAK USAH ADA PJTKI, jadi semua rakyat yang ingin menjadi TKI/W langsung mendaftar ke Kementerian Tenaga Kerja di Jakarta atau Kantor Dinas Tenaga Kerja di tempat calon TKI Tinggal atau menggunakan sistem penerimaan CPNS jadinya transparan dalam hal umur karena selama ini penulis melihat kenapa TKI/W kita di luar sana bermasalah karena tidak ada peran dari PJTKI dalam melihat nasib calon TKI/W kita YANG ADA DALAM OTAK para pendiri dan staff daripada PJTKI ini adalah UANG DAN UANG baik uang dari para calon TKI/W dan juga uang dari para majikan yang sudah meminta dipesankan TKI/W untuk bekerja atau (maaf) diperlakukan seperti binatang kepada PJTKI ketika para TKI/W sudah mendapatkan siksaan para PJTKI ini terkesan lepas tangan dan Cuma NATO-Ngomong Asal TANPA OTAK tanpa ada mendampingi para keluarga TKI/W untuk mendapatkan hak-hak anggota keluarga mereka sebagai pekerja selama ini…

Ketiga, kiranya Pemerinah kita harus menegosiasikan dan menyepakati secara bersama perjanjian bilateral dengan negara-ngara yang menjadi kantung-kantung TKI/W, seperti ada perjanjian internasional yang memberi perlindungan kepada para buruh migran yaitu International Conventiona on the Protection of the Right of All Migrant Workers and Members of Their Families ( Konvensi Buruh Migran ), yang ada sekarang ini adalah banyak negara pengirim yang sangat bersemangat untuk mengikuti konvensi ini tetapi di satu sisi negara penerima kantung-kantung daripada para TKI/W ini tidak berminat dan bersemangat.

Kalau masalahnya seperti ini kiranya negara kita bisa dan mencontoh daripada prinsip daripada Pemerintah Philipina dimana segala sesuatu yang terkait dengan warga negaranya termasuk Tenaga kerjanya di lakukan di Kedutaan Besar Philipina termasuk diantaranya perjanjian antara majikan dan pihak tenaga kerja dengan Kedutaan Besar termasuk resiko-resiko yang harus dihadapi para majikan jika mereka melanggar daripada perjanjian tersebut atau membuat semacam MOU yang isinya kedua negara akan melindungi warga negara yang sedang berada di wilayahnya dengan hak-hak yang berlaku tanpa terkecuali warga ini adalah TKI/W karena selama ini MOU yang pemerintah kita terlalu lemah dan tidak mencakup semuanya misalnya pada kasus MOU RI-Malaysia dimana MOU hanya melindungi pekerja domestik (PRT) bukan pekerja Indonesia yang berada disana misalnya kaum buruh perkebunan kelapa sawit atau hanya melindungi pekerja domestik yang legal sementara yang ilegal tidak padahal dalam Konvensi Buruh Migran tidak mempersalahkan legal atau tidak legalnya status daripada buruh migran !

Mungkin kasus Nirmala Bonat, Siti Hajar, Ceriyati, Kikim Komalasari dan Sumiyati menjadi pelajaran terutama bagi para pejabat kita di Jakarta dalam hal ini Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan juga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia kiranya lebih tegas, keras terhadap siapa saja yang mencoba melanggar hak-hak daripada WNI yang sesuai dengan konvensi internasional tentang HAM.

Kepada para Dubes, Sekretaris bidang, Attase dan siapa pun yang bekerja di Kedutaan Besar ataupun Konsulat Jenderal Republik Indonesia di seluruh dunia SUDAH SAAT-nya bekerja dengan hati dalam memberikan pelayanan istimewa kepada para TKI/W JANGAN CUMA memberikan pelayanan istimewa sampai dengan pelayanan ++ kepada para pejabat Indonesia yang berkunjung dengan stempel “STUDI BANDING”. Asal anda tahu para Dubes, Sekretaris Bidang, Attase, dan siapapun yang bekerja di KBRI dan KJRI anda bisa menggunakan kemeja, dasi, jas, sepatu, jam tangan dengan merek terkenal seperti GUCCI, TAG-HAUER itu dari siapa ? gaji yang anda dapat setiap bulan itu dari siapa ? apakah dari para pejabat yang tidak penting dengan sok-sok-an bilang STUDI BANDING atas nama rakyat ? BUKAN, gaji anda itu didapat dari masyarakat dan rakyat salah satunya hasil daripada keringat para TKI/W yang terus-terusan disiksa, diperkosa dengan se-asalnya bahkan di bunuh !

Satu hal lagi yang penting, kiranya para pejabat di KBRI dan KJRI ini TAK SEPANTAS-nya mempermasalahkan legal atau tidaknya para TKI/W ketika memberikan perlindungan, apa pun pekerjaannya selama para TKI/W MASIH MEMEGANG Paspor dan KTP berlogo Burung Garuda dan ada tulisan Republik Indonesia, mereka HARUS dan WAJIB mendapatkan perlindungan bahkan dibantu jika mereka membutuhkan protes keras !!

Gatot Subroto, 011210 15:30
Rhesza
Pendapat Pribadi

Tidak ada komentar: