Jumat, 16 Juli 2010

Antara Gie, Munir dan Tama

Seperti menjadi kebiasaan penulis sebelum melakukan penulisan selalu menghaturkan permintaan maaf jika ada kata-kata atau tulisan yang penulis buat membuat sebagian pembaca merasa tersinggung atau penulis dianggap menista atau apalah, apa yang penulis tulis adalah murni dari pendapat penulis terkait masalah yang penulis lihat, baca dan dengar, sekali lagi maaf.

Ada kah para pembaca dan pengunjung blog ini kenal dengan sosok muda yang kritis bernama Soe Hoek Gie atau biasa di panggil GIE, dia adalah (menurut penulis) mahasiswa cerdas dan kritis walaupun semua orang tahu bagaimana kondisi dia yang masuk dalam lingkungan termarjinalkan (baca: kaum Tioghoa) tetapi GIE tidak pernah takut untuk bersuara lantang
Soe Hok GIE lahir di Jakarta pada tanggal 16 Desember 1942, GIE anak keempat dari lima bersaudara dari keluarga Soe Lie Piet atau Salam Sutrawan GIE adalah adik kandung dari Soe Hok Djin atau yang kita kenal sebagai Arief Budiman yang sekarang menjadi dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga sama dengan GIE vokal dan kritis dan sekarang bermukin di Australia. GIE menamatkan pendidikan SMA di Kolose Kanisius dan melanjutkan ke Fakultas Sastra UI Jurusan Sejarah pada tahun 1962-1969.
GIE adalah anak muda yang memiliki pendirian yang sangat teguh dalam memegang prinsipnya dan sangat rajin untuk mendokumentasikan perjalan hidupnya dalam sebuah buku harian, dan kemudian buku harian tersebut di terbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran pada tahun 1983, selain menuliskan di sebuah buku harian sosok GIE pun dikenal sebagai penulis produktif pada jaman itu hampir semua media selalu memuat tulisannya misalnya KOMPAS, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia dan Indonesia Raya dalam waktu tiga tahun Orde Baru tulisan-tulisan itu dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zama Peralihan (Bentang, 1995). Dalam dunia kampus pun GIE sempat menjadi staff redaksi dari Mahasiswa Indonesia sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh para mahasiswa angkatan 66 di Bandung yang mengkritik pemerintahan Orde Lama, bahkan skrispi sarjana mudanya pun berkaitan dengan sejarah Sarekat Islam Semarang bahkan diterbitkan oleh Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera dan skripsi S-1nya GIE mengulas tentang pemberontakan PKI di Madiun dan ini juga dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997)
Karena hobinya mendaki gunung inilah yang membuat GIE harus meninggalkan segala cita-cita dan ke-vokalannya terhadap pemerintah negara ini tepat sehari sebelum GIE ulang tahun yaitu tanggal 16 Desember 1969 di usia 26 tahun GIE menghembuskan napas terakhirnya karena menghirup asap beracun yang ada di gunung tersebut, GIE meninggal bersama rekannya, Idhan Dhavantari Lubis.

Kalau tadi GIE, sekarang Munir siapa yang tidak kenal tokoh HAM yang satu ini iya benar beliau adalah Munir Said Thalib pria keturunan Arab kelahiran Malang, Jawa Timur 8 Desember 1965 ini adalah aktivis HAM Indonesia, sosok ini terkenal ketika beliau menjabat sebagai Dewan Kontras karena beliau memperjuangkan orang-orang yang hilang karena diculik pada masa iatu, ketika itu beliau membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Komandan Jenderal-Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota Tim Mawar walaupun sampai sekarang tidak jelas hukuman bagi tim mawar dan juga pejabat-pejabat militer yang terkait dalam peristiwa ini..

Akhirnya sang aktivis ini pun harus meninggalkan cita-cita dan kevokalannya sama seperti GIE dimana beliau meninggal di atas udara negara Hongaria pada tanggal 7 September 2008 karena diracun ketika akan berangkat ke Utrech untuk melanjutkan kembali kuliah S-2nya di Belanda jenazahnya pun di makamkan di Taman Pemakaman Umum Kota Batu, dan sampai sekarang pun yang bertanggung jawab atas kematiannya pun masih tanda tanya !

Kemudian Tama Satrya Langkun seorang aktivis yang sekarang menjabat sebagai anggota Divisi Investigasi ICW mengalami penganiayaan dan pembacokkan oleh sejumlah orang yang tidak di kenal pada Kamis dinihari pada tanggal 8 Juli 2010 sekitar pukul 03.45, kejadiannya pun berawal dari Tama dan Khaddafi (rekan mitra ICW dari Sulteng) baru pulang dari nonton bola bareng di kawasan Kemang, Jakarta Selatan untuk kembali ke Kantor ICW di daerah Kalibata, tidak jauh dari perempatan lampu merah Jalan Duren Tiga Raya dan Jalan Mampang Prapatan motor yang dikendarai Tama dipepet oleh dua sepeda motor dan satu buah mobil Avanza Silver karena terdesar moto Tama pun jatuh ke arah belakang dan terseret di Jalan Raya, sang penumpang, Khadafi mengalami memar pada punggung belakang dan lecet di belakang tangan.

Tama yang jatuh kemudian terseret oleh sepeda motor, setelah jatuh Tama yang masih menggunakan helm standar kemudian didatangai oleh empat orang, dua orang pengemudi motor dan dua orang yang ikut berboncengan, insiden pemukulan kemudian terjadi, helm Tama dibuka oleh pelaku dan Tama dipukuli berkali-kali dan kemudian dibacok di bagian kepala, pemukulan yang dilakukan menyisakan luka memar di bagian belakang dan lengan atas, sedangkan pembacokan di bagian kepala menyebabkan tiga buah luka sayatan yang terbuka lebar, satu luka di kepala bagian depan dengan 12 jahitan, dan dua luka di bagian belakang, masing-masing dengan 11 jahitan dan tujuh jahitan sehingga total luka di bagian kepala sekitar 29 jahitan. Dan kondisinya saat ini masih dalam tahap pemulihan.

Dari ketiga tokoh ini penulis kemudian secara spontan dalam hati berkata, inikah imbalan dan taruhan yang harus diterima dari seorang aktivis yang bersuara vokal demi keadilan dan kebenaran dalam mengetuk nurani para penjaga negara ini agar tidak semena-mena terhadap rakyat ? BUKANkah HANYA Tuhan yang berhak untuk memberikan hukuman kepada ciptaanNya kalau seperti ini berarti orang-orang ini sejajar dengan Tuhan atau (tidak mungkin donk) di suruh Tuhan.

Kalau memang ini upah dari pada ke-vokal-an para aktivitis ini kenapa sampai hari ini seperti kasus Munir belum terungkap dan malah mengulur-ngulur waktu bahkan rakyat hanya ingat ketika hari kematiannya saja begitu lewat dua sampai satu bulan dari hari kematiannya hilang begitu saja dan baru muncul lagi tahun depan dan seterusnya , bukankah sebuah negara itu harus bisa menjamin dan melindungi rakyatnya dari segala macam yang menghadang dan termasuk HAM tetapi nyatanya negara kita ini sepertinya tidak bisa menyelesaikannya..

Penulis juga heran dengan sikap dunia termasuk PBB tentang Indonesia yang (katanya) menjunjung tinggi HAM dan demokrasi bahkan kalau tidak salah Indonesia pernah menjabat sebagai Direktur Komisi HAM PBB, DIMANA letak keberhasilan itu KALAU kasus Munir saja sampai detik ini belum terungkap bahkan berkas tim Pencari Fakta kematian Munir saja entah ditaruh dimana oleh sang Presiden, atau kasus 1998 yang seharusnya menyeret beberapa personel tentara mulai dari tingkat Kopral hingga Jenderal ke Pengadilan dan di Hotel Prodeo kan tetapi mana hanya segelintir saja yang di penjara dan juga setelah itu malah dapat posisi “raja kecl” di pos TNI di daerah INIKAH yang disebut menjunjung tinggi HAM dan Demokrasi tuan-tuan dan nyonya pemimpin dunia ?
Kalau memang apa yang diperjuangkan oleh aktivisi membuat risih negara atau pihak-pihak terkait, kenapa juga negara dan pihak terkait itu ikut juga memberikan pejelasan dan tindakan kalau apa yang dikatakan aktivis itu tidak benar, seperti kasus rekening babi gendut, kan secara jelas data-data dari aktivisi ini ada nyatanya tetapi oleh pihak kepolisian membantah tetapi tidak ada bukti-bukti keras yang bisa membantah perkataan atau data-data dari aktivis yang membongkarnya.

Kalau memang membantah keras seperti kasus contoh celengan babi Polri, seharusnya Polri dan pihak yang di tuduhkan memberikan keterangan bantahan dengan memberikan bukti misalnya memperlihatkan BUKU TABUNGAN yang terkait akan bukti dari aktivis itu benar atau tidak aliran dana itu tetapi NYATAnya mana ? jadi wajar lah kalau penulis serta mungkin masyarakat luas AGAK sedikit mempercayai apa yang disampaikan oleh para aktivis ini karena Polri sampai detik ini tidak bisa membuktikan apa yang aktivis sampaikan termasuk memperlihatkan BUKU TABUNGAN dari pihak-pihak yang di sebutkan oleh aktivis ini !

Jadi, mau sampai kapan para aktivis kita harus di BUNGKAM dengan cara-cara seperti yang di alami oleh Munir, Tama oleh orang-orang yang tidak suka dan tidak menghargai HAM dan demokrasi kalau sampai seperti ini terus dimana negara TIDAK PERNAH melindungi para aktivis yang juga bagian dari negara ini lebih baik negara luar dan PBB berpikir dua kali untuk memberikan predikat Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dan Demokrasi kalau TERNYATA di negaranya sendiri pemerintah tidak bisa melindungi Hak-hak dan mengakui daripada keberadaan para aktivis ini..

Hanya satu kata bagi para aktivis melihat ini semua… LAWAN !!!

Bekasi, 170710 09:10
Rhesza
Pendapat Pribadi

Tidak ada komentar: